tentang kesedihanku (yang mendominasi?)

Seorang teman bertanya, mengapa aku selalu menulis hal-hal yang menyedihkan di blog-ku ini. Dia menilai isi blog-ku didominasi oleh kesedihan.

Apakah tidak ada kegembiraan dalam hidupmu? Ataukah kau hanya menulis dalam keadaan sedih, dan menulis membantumu menghilangkan kesedihan itu? tanyanya.

Aku pun melihat-lihat lagi isi blog-ku ini. Tidak juga, jawabku. Ada kok yang gembira. Tetapi memang benar bisa dikatakan emosi yang mendominasi adalah kesedihan.

Bukankah kesedihan itu lebih indah daripada kegembiraan? tanyaku.

Seringkali aku terserang kesedihan yang tiba-tiba, dan itu bisa terjadi di mana-mana, dan kapan saja: di rumah, di kos, di rumah kakak, di mobil, di kantor, di bis, di saat hujan, di saat panas, sambil berbelanja, sambil menonton TV, dan lain-lain. Mungkin saat-saat inspirasiku adalah saat-saat kesedihanku.

Kesedihan seperti ini tidak menyenangkan; sangat tidak jelas. Kadang-kadang membuatku kesal dan bingung: mengapa aku bersedih? Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan penghiburan? Aku mengajak teman menonton, aku mengajak teman ke cafe, aku memikirkan tentang liburan akhir pekan, tetapi semua tidak membantu. Akhirnya aku hanya menulis.

Menulis yang iseng dan tidak jelas seperti ini membantuku menjelaskan pikiranku. Setelah selesai, biasanya ada kebahagiaan kecil yang sangat egois. Apalagi setelah ada yang membaca tulisanku yang sederhana ini.

Seorang penulis pernah menulis seperti ini, "Dari kesedihan-kesedihanku yang besar lahirlah karya-karyaku yang kecil." Maaf aku lupa siapa penulis itu.

Gede Prama pernah menulis soal memeluk erat kesedihan. Kesedihan adalah kondisi yang tak bisa kita elakkan. Mana ada hidup tanpa kesedihan? Mana ada hidup tanpa perpisahan? Mana ada hidup tanpa kekecewaan? Mana ada hidup tanpa pengkhianatan? Mau tidak mau, kita harus berteman dengan semua itu. Mau tidak mau, kita harus berteman dengan kesedihan. Kita harus memeluk kesedihan dengan erat, kata Gede Prama.

Bahkan dikatakan, kesedihan sangat dekat dengan kebahagiaan. Aku hampir percaya kesedihan bisa berarti kebahagiaan itu sendiri. Pernah ada e-mail yang kubaca, mengenai lomba melukis tentang kedamaian. Pemenangnya bukan lukisan pemandangan di desa yang sepi dan damai, bukan pemandangan di tepi sungai yang airnya mengalir dengan tenang. Tetapi pemenangnya adalah sebuah lukisan tentang situasi di pasar yang ramai dan kacau.

Kedamaian terletak pada kemampuan kita merasa damai dalam kondisi yang kacau. Begitu juga kebahagiaan terletak pada kemampuan kita merasa bahagia dalam kondisi yang paling sedih.

Kondisi yang seperti ini: sedih dan galau yang tidak jelas, membuat kita mencari-cari: mencari penyebab, mencari pegangan, dan membuka hati kita sehingga kita lebih bisa menikmati: menikmati lagu, menikmati buku, menikmati sastra, menikmati hujan, menikmati awan, menikmati langit. Emosi kita seolah lebih dipersiapkan, lebih dibuka, begitu juga untuk menerima Tuhan, mungkin.

Mengutip temanku, "Kesedihan membuatku lebih mudah menitikkan air mata. Dan setelah menangis, hati ini merasa lebih tenang, lebih happy dan lebih pasrah."

Dia melanjutkan dengan bercerita tentang Nabi Muhammad SAW.

"Bahkan Nabi Muhammad SAW pun menyukai perasaan-perasaan negatif seperti sedih atau cemas. Karena dengan perasaan seperti itu, Nabi Muhammad SAW merasakan kebutuhannya pada Tuhan. Ada dorongan kian kuat untuk dekat padaNya. Sangat sulit rasanya berterimakasih pada Tuhan ketika kita punya banyak kenikamtan, ketika kita punya wajah dan tubuh yang sempurna, uang yang jauh dari cukup, mobil mulus, kantor dan karir yang oke, hubungan interpersonal yang bagus, sangat susaaaah untuk bersyukur padaNya.

"Beda ketika sedih datang, syukur dan kebutuhan pada Tuhan akan lebih mudah dilakukan."

Mungkin dia benar. Apa pun, aku hanya ingin menunjukkan, sedih itu tidak selalu berarti buruk. Atasanku pernah menegurku, "Wajahmu sedih sekali." Ya, wajahku memang sering tampak sedih, tapi percayalah, aku baik-baik saja. Aku merasa sangat baik. Wajah memang sulit diubah. Sepertinya pembawaan sejak masa kecil di mana aku memang seorang pemurung.

Lalu temanku berpesan agar aku tetap menulis. Dia mengaku menangis membaca beberapa tulisanku, dan dia tidak sendiri. Ada beberapa teman yang melaporkan padaku bahwa mereka juga menangis setelah membaca tulisanku.

Ternyata tulisanku benar-benar sedih!

Apa pun, aku senang bisa membagi perasaan itu dengan orang lain. Terima kasih untuk kalian yang bersedia membaca blog-ku. Mudah-mudahan setelah ini akan lebih banyak tulisan yang lebih gembira.

Comments

Popular Posts