Wajah

Wajah wanita yang ditatapnya itu masih sama. Mata yang sendu, rambut terurai, agak menutupi wajahnya, bibir yang menyimpan beribu misteri. Bibir itu sedang mengatup ujung sebuah sedotan yang pangkalnya terbenam di dasar gelas berisi orange juice.

Wajah yang sama setahun yang lalu membuat Ron jatuh cinta. Setiap Sabtu pagi adalah saat yang dinantikan Ron. Setiap Sabtu pagi adalah saat Ron bisa duduk kembali di bangkunya di kelas, tempat dia menatap kembali wajah itu dari sudut yang menguntungkan. Sudut yang tidak membuat orang yang diamati sadar dan merasa tidak nyaman. Sudut yang tidak membuat guru atau murid lain bertanya-tanya. Ron selalu duduk di tempat yang sama; seperti wanita pemilik wajah itu juga selalu duduk di tempat yang sama.

Mulai sejak dia berjalan dengan santai masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya, Ron mengawasinya. Ron mengawasinya seperti dia tidak pernah mengawasi wanita lain sebelumnya. Bukan karena dia belum pernah melihat wanita secantik itu; wajah itu biasa-biasa saja. Tetapi ada sesuatu di wajah itu yang membuat Ron sulit mengalihkan pandangannya.

Pertama-tama wajah itu begitu sendu. Seperti foto hitam putih masa lalu yang diam namun bercerita banyak. Kedua, wajah itu begitu tenang. Seperti sungai di kaki gunung dalam lukisan pemandangan. Ketiga, wajah itu begitu jauh dan tidak teraih. Seperti puncak gunung es yang tak pernah terjamah manusia. Begitu kira-kira Ron mencoba menganalisa ketertarikannya.

Wanita itu dengan mudah menarik perhatian Ron, karena dia tidak seperti wanita-wanita lain. Dia jarang sekali bicara. Ron tidak pernah melihat dia bicara. Pada jam istirahat kadang dia ke perpustakaan. Lebih sering dia hanya duduk di kelas. Mengengarkan musik atau entah apa dari walk-man-nya. Atau memencet-mencet tuts di HP-nya. Mengapa dia tidak bergaul dengan teman-teman sekelas?

Setelah tiga bulan berada di kelas yang sama, Ron masih belum pernah berbicara dengannya. Ron masih belum pernah mendengar suaranya. Ron masih memandangnya dari jarak yang sama. Belum pernah lebih dekat. Tiga bulan. Setiap Sabtu pagi.

Mengawasinya duduk di bangkunya. Mengawasinya mendengarkan penjelasan pak profesor yang sudah tua. Mengawasinya mencatat. Mengawasinya menyibakkan rambutnya. Mengawasinya menyilangkan kakinya. Mengawasinya memencet tuts pada HP-nya. Mengawasinya membenarkan roknya. Mengawasinya berjalan. Mengawasinya memejamkan mata sewaktu-waktu seolah sedang berpikir atau hanya mengistirahatkan matanya sejenak.

Mengawasinya selalu dari jarak yang sama. Tak pernah Ron berpikir untuk melangkah mendekatinya dan mengajaknya makan siang. Tak pernah Ron menanyakan nomor HP-nya kepada teman yang lain. Tak pernah pula Ron membicarakan dia bahkan dengan teman dekatnya. Ron hanya senang menatap wajah itu.

Ron bahkan hampir yakin dia hanya jatuh cinta pada wajah itu. Dia tidak merasa ingin mengencani wanita itu. Memang kadang-kadang dia membayangkan bercinta dengan wanita itu; membayangkan rambut wanita itu tergerai menutupi perutnya yang telanjang. Tetapi dia bukan pria yang akan berkencan dengan seorang wanita seperti ini. Tidak dalam kehidupannya sekarang. Mungkin nanti, bila dia terlahir kembali, pikir Ron.

Bila dia terlahir kembali, menjadi pria parlente yang mengendarai mobil BMW dan tinggal di apartemen Semanggi. Bila dia terlahir kembali, menjadi pria cerdas bermata tajam yang selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan. Dia akan mengirim bunga setiap hari kepada wanita pemilik wajah itu. Dia akan mengirim cokelat, CD, atau apa pun yang menyenangkan wanita pemilik wajah itu. Dia bahkan akan mengajaknya terbang ke Thailand untuk makan malam di Aleenta Pranburi Resort. Tetapi tidak dalam kehidupan ini. Tidak sekarang.

* * *

Kini, setahun kemudian, wajah itu persis di hadapannya, dalam jarak yang bisa disentuhnya. Ron tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tidak ingin menyentuh wajah itu.

Enam bulan sudah dia mengenal wanita ini. Namanya Dini. Umur 26 tahun. Anak seorang pengusaha kaya yang tinggal di daerah Menteng. Kadang Ron masih tidak percaya dia bisa memacari wanita ini, tetapi setelah berada di dalamnya, kenyataan tidak lebih indah dari bayangannya.

Ron tidak suka suaranya. Ron tidak suka cara dia tertawa. Seringkali dia tertawa pada lelucon-lelucon yang buruk. Dia tidak bisa diajak ngobrol untuk urusan lain selain fashion, kecantikan, kosmetika, dan salon. Dia tidak suka membaca. Dia tidak mengikuti berita di koran. Ternyata dia mengunjungi perpustakaan hanya untuk mencari majalah wanita. Selera filmnya juga buruk. Selera musiknya payah.

Sebenarnya Ron sudah khawatir akan hal ini sebelumnya. Wajah itu hanya sebuah wajah. Selama tiga bulan Ron ingin membiarkan wajah itu hanya menjadi wajah. Tetapi makin lama wajah itu membuatnya semakin penasaran. Ron berpikir dia mungkin akan mati penasaran bila dia tidak mencoba mendekati wanita itu pada akhirnya.

Kini wajah itu sangat dekat, dalam jangkauannya. Mengapa Ron tidak ingin menyentuhnya? Mengapa Ron tidak ingin mencium bibir yang begitu ingin dirasakannya enam bulan yang lalu?

Ron menatap wajah yang sama itu kembali, dengan cara yang tak pernah dilakukannya. Kini dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.



Comments

Popular Posts