Hari Minggu kemarin aku sempatkan untuk membaca Laskar Pelangi, buku yang banyak direkomendasikan di milis-milis maupun oleh beberapa teman. Kebetulan buku ini bercerita tentang anak-anak di Belitong, tetangga pulau tempat kelahiranku, Bangka. Meskipun aku tidak pernah ke Belitong sama sekali, tetapi menurutku dengan Pulau Bangka banyak persamaan, dan apa yang dilukiskan dalam buku itu bisa aku bayangkan.

Andrea Hirata menulis dengan bagus sekali, cerdas, tajam, dramatis, dan banyak hal yang ingin kuungkapkan tapi aku tidak bisa menemukan kata-katanya sudah terlukiskan dalam buku ini. Misalnya tentang keindahan alam dan tentang hegemoni PT Timah. Andrea sudah tentu lebih cerdas dan pandai dengan kata-kata, dan analisanya terhadap lingkungan di sekitarnya, pengetahuan dia tentang flora dan fauna sangat menakjubkan, banyak yang aku sama sekali tidak tahu, sehingga bila dia terlalu detil, membacanya cukup membosankan.

Membaca tulisan Andrea, aku mendapat kesan masa kecilnya begitu meriah, kaya, dan menyenangkan. Seperti yang selalu ingin aku ungkapkan, besar di daerah memang lebih exciting, daripada besar di Jakarta. Aku selalu menyesalkan tidak banyak meng-explore daerahku sendiri waktu kecil. Apa yang diceritakan Andrea tentang PT Timah itu benar adanya, meski, sepertinya dia menceritakan masa yang lebih awal dari masa-masaku, seperti misalnya sekolah PN Timah, kayaknya ketika aku sekolah, waktu itu sudah lewat. Ada juga bagian yang terlalu berlebih-lebihan, maklumlah namanya juga cerita fiksi, meskipun berdasarkan pengalaman.

Aku ingat sekali tentang sirine yang berbunyi kencang sekali, seluruh kotaku kedengaran, yaitu setiap jam 6.50, untuk panggilan masuk kerja, jam 7 mulai jam kerja, jam 12 untuk istirahat, jam 14 untuk kembali ke kantor, jam 6 kalau gak salah, jam pulang. Begitu hegemoni-nya PT Timah, hampir semua orang bekerja untuk PT Timah, dan semua orang hidup dari timah, sirine dari kantor PT Timah menjadi bagian hidup kami sehari-hari. Sebelum membaca buku Andrea, aku lupa dengan hal yang sepenting ini, tapi begitu membaca, langsung aku dibawa pulang ke masa kecil dan ke kota kecilku.

Meski ceritanya agak terlalu panjang dan agak terlalu detil, kurasa Andrea berhasil membuat pembaca penasaran, dan ingin datang ke Belitong. Seperti itulah yang kuinginkan untuk tulisanku, campuran antara realita dan imajinasi, dan dengan daya tarik kata-kata yang berhasil membuat orang ingin datang melihat tempat yang aku lukiskan. Andrea juga pandai melukiskan pergaulan antar etnis yang ada di Belitong, tidak jauh berbeda dengan di Bangka pastinya. Beberapa ide yang ingin kuceritakan sudah ada di buku ini, hahahaha. Salut untuk Andrea Hirata.

Comments

Popular Posts