Jadi Pintar atau Bodoh?

Pelukis itu termenung lagi mencari gagasan baru untuk lukisannya. Dia merasa gundah dan hendak menuangkan kegundahannya ke atas kain kanvas. Setelah termenung agak lama dia melukis seorang raksasa.

Ketika disinar cahaya di bawah raksasa itu terbentuk bayangan yang luas. Di bawahnya orang-orang kecil yang tak berdaya dan tak berotak. Mereka semua mudah tertiup angin dan harus berlindung di balik sang raksasa. Ke mana pun raksasa itu melangkah, orang-orang bodoh itu harus ikut.

Setelah dilihat-lihat lagi pelukis tidak puas dengan lukisannya, dan mulai mengganti dengan kanvas yang baru. Kali ini dia menggambar sebuah pohon besar yang juga membentuk bayang-bayang di bawahnya yang luas. Berbagai makhluk berlindung di bawah bayang-bayang pohon besar itu: mulai dari semut, serangga, rumput dan bunga-bunga kecil. Semua memetik manfaat dari pohon dan pohon juga mendapatkan manfaat dari mereka.

Si pohon berdiri dengan angkuhnya. Badannya tegak dan dagunya congkak. Bila berbicara dengan makhluk di sekitarnya dia menggunakan nada yang tegas. Tak seorang pun berani membantahnya. Tidak ada yang boleh menjawab. Atau memberi komentar. Semua komentar dianggap tidak bermutu.

Hanya satu otak di dalam lukisan itu dan otak itu berada di dalam diri si pohon. Makhluk yang lain berkepala kosong.

Si pohon semakin hari menjadi semakin congkak. Setiap hari kerjaannya memuji diri sendiri dan membuat orang lain merasa susut, tak berdaya, tak berperan dan tak berguna. Di matanya, tak ada yang lebih benar daripada dirinya. Dia mahir mempermainkan emosi makhluk-makhluk di sekitarnya. Sesaat semut dipuji, lalu saat berikutnya dibanting.

Lalu pelukis menambahkan seekor semut yang dipercaya pohon memimpin armada semut yang lain. Tetapi kepada semua semut pohon selalu mengingatkan bahwa tidak ada yang berkuasa selain dirinya. Tidak ada otak lain dalam lukisan itu. Si pemimpin semut itu pun tak berani mengambil keputusan apa-apa karena seringkali diubah oleh si pohon.

Setelah melukis sebagian, si pelukis berhenti lagi. Dia merasa ada yang kurang tepat dalam lukisannya. "Enggak begini juga," pikirnya. Lalu dia sekali lagi, mengganti kanvas yang baru.

Kali ini dia menggambar seorang samurai, seseorang seperti Musashi, yang bepergian bersama muridnya. Si murid selalu merasa aman bersama Musashi karena dia tahu guru dan mentornya itu adalah seorang yang capable, menghadapi tantangan apa saja, memasuki area-area baru, melewati hutan-hutan yang belum pernah dilalui orang lain. Karena sang samurai mempunyai ilmu dan juga selalu belajar, sambil berjalan. Dia tahu dia bisa mengandalkan gurunya dalam segala situasi.

Tapi sayangnya, sampai kapan dia akan bepergian dengan sang guru? Tentu saja suatu saat dia harus bepergian sendiri. Dan ketika dia sendiri, dia harus menjadi dirinya sendiri. Bukan menjadi copy dari sang guru. Selama mengikuti guru dia tidak belajar banyak karena selalu ada hal baru sehingga guru yang turun tangan. Dia merasa belum menguasai suatu jurus, sudah ada jurus yang baru lagi. Dia tidak bisa menonjol/tampil, karena terlalu sedikit yang dikuasai dalam masing-masing jurus. Dan sang guru, terlalu sombong untuk melihat ada potensi yang bisa menggantikannya.

Di samping itu si murid tidak sempat belajar hal lain dari luar selain dari gurunya. Karena teori-teori lain dipatahkan oleh guru dan dianggap tak berarti. Murid menjadi malas belajar dan mengikuti saja. Dia disuruh mengerjakan banyak hal oleh guru yang tidak fokus. Hingga tanpa sadar dia telah membuang banyak waktu. Hingga suatu saat dia menyadari dia tidak bisa apa-apa tanpa gurunya. Dia tidak punya nilai jual di luar. Dia bukan siapa-siapa. Dan dia sudah tua. Dia lupa menjadi dirinya sendiri dan membuang-buang waktu berusaha dan mencoba menjadi seperti gurunya, dan tidak pernah bisa.

Akhirnya si pelukis kelelahan dan tetap tidak puas dengan lukisannya. Dia pun meninggalkan kanvas-kanvas dan catnya.

Related Article:

Lonely in a bad company

Comments

  1. Anonymous2:52 PM

    awal september ini aku bertemu reporterku yang di Aceh. Dia sangat kurus. Kutanya, mengapa dia kurus? dia jawab, iya pusing mikirin Aceh. Segala harga sangat mahal.

    Aceh kini menjadi kota internasional. Sangat mudah mendapatkan bule.Fasilitas berbau bule juga bertebaran. Apesnya, harganya pun harga bule. Dan orang-orang yang dulu gemuk menikmati Aceh, kini menjadi sekurus temanku.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts