Narasumber Berulah

Dalam dunia pers selalu saja akan ditemukan berbagai jenis narasumber, banyak narasumber yang baik dan sangat kondusif terhadap pekerjaan kita, tetapi tidak jarang ada juga narasumber yang berulah.

Di PortalHR.com, baru kali ini saya menemukan satu. Ini buat catatan saja, bukan untuk keperluan curhat, mengeluh, atau menjelek-jelekkan pihak tertentu. Ini catatan belakang redaksi.

Kami sudah mendapatkan waktu wawancara dengan beliau. Ini untuk tulisan berupa profil. Sesuai dengan pesan beliau, kami mengirimkan padanya draft tulisan sebelum di-publish. Hal ini jarang terjadi untuk narasumber yang lain, karena sebenarnya content itu menjadi hak redaksi. Apabila ada hal-hal tertentu yang tidak boleh di-publish, maka si narasumber harus berpesan pada redaksi, dan hal itu saya anggap halal. Boleh-boleh saja.

Karena kami masih media baru, untuk memberikan draft sebelum di-publish pun, saya toleransi saja. Gak papa, kita minta approval narasumber, daripada nanti dia bete atau ada hal yang menyinggung. Karena beliau belum pernah membaca kita, belum pernah ditulis oleh kita, karena itu beliau masih ragu, bagaimana kita akan menulis tentangnya? Apakah kita akan jahat terhadapnya? Apakah akan ada hal-hal yang akan memberi dampak negatif padanya? Semua itu dia belum tahu, karena dia belum kenal kita. Tak kenal dan tak percaya. Maka, okelah, kami kirimkan draft sebelum dipublish.

Karena kesibukan sang narasumber ini tingkat tinggi, maka hingga berminggu-minggu draft tidak sempat dilihat. Dia menjawab email, memberi alasan bahwa dia sibuk, minta waktu untuk review. Salahnya, rekan kami tidak memberi dia dateline. Padahal, kami mempunyai jadwal penerbitan. Tapi okelah, anggaplah itu salah kami. Pada suatu titik, akhirnya saya minta rekan saya untuk SMS ke beliau, dan mengatakan tanggal sekian kita akan publish, mohon review dan kasih kabar sebelum tanggal itu.

Agak lama kemudian, dia menjawab SMS itu. "Jangan muat. Saya akan edit minggu depan." Huh???

Kami putuskan untuk naikkan profil yang lain. Tadinya jadwal kami adalah untuk dia, dengan berbagai alasan strategis. Untunglah kami masih ada stok. Okelah, kita akan tunggu editannya.

Seminggu kemudian, editannya datang. Hah???? Kami terkejut dan terheran-heran. Dan agak kesal saya pada waktu itu. Saat ini sih saya sudah lupakan.

Tulisan rekan saya yang mewawancarai dia sama sekali tidak diedit. Tapi ditulis ulang. Jadi dia menulis sendiri profilnya. Rekan saya pun lantas berpikir "Lah buat apa kita wawancara kalau gitu?"

Tulisannya menurut saya tidak menarik, tidak seperti gaya bahasa PortalHR.com, yang sejauh ini menurut saya: lugas, cerdas, dan berjiwa. Ada yang kurang dalam tulisannya, yaitu kurang bernyawa. Kurang berasa. Datar. Dia hanya menulis soal perjalanan karirnya, dan bersifat promosi diri. Ada hal yang dia hapus karena akan berpotensi memberikan citra buruk terhadap dirinya. Hmm.

Ini memang belum pernah tertulis sebelumnya, tetapi PortalHR.com sebagai media tentu saja mempunyai standar tersendiri dalam tulisannya. Dan dalam urusan profil, selain hanya menceritakan CV seseorang dan prestasinya, terselip pula pandangan dan kesan yang kami dapatkan tentang pribadi narasumber tersebut. Dengan begitu, ada yang hidup dan bernyawa. Itu tidak bisa didapatkan dari wawancara lewat telepon atau email. Karena itulah butuh wawancara langsung.

Kalau memang narasumber tersebut tidak bisa menerima tulisan kami, well, saya putuskan untuk tidak bisa memuat dia. Setidaknya untuk saat ini. Maksud saya, dia bisa saja mengedit apa yang sudah kami berikan, menghapus hal-hal yang menurut dia sensitif, atau memberikan masukan-masukan untuk memperbaiki tulisan kami. Bukan meruntuhkannya sama sekali, dan membangun yang baru versi dia.

Dan sementara, versi dia, sama sekali tidak bisa kami terima. Kecuali mungkin.. kami boleh mengedit versi dia? (nanti gak kelar-kelar dong, bolak-balik jadinya). Yang jelas, dia tidak bisa mendikte redaksi.

Saya mengatakan dalam hati saja, kalau dia mau promosi diri, seharusnya bukan di rubrik profil dong. Mungkin sebaiknya dia pasang iklan di advertorial? Tapi hal ini tentu saja tidak boleh saya ungkapkan. Ini hanya dalam hati saja. Hehehe.

Apakah dia melakukannya karena dia merasa sangat penting sehingga dia bisa mendikte redaksi? Atau dia hanya belum tahu soal etika dalam berhadapan dengan pers? Aku tidak tahu.

Apakah di media lain pernah mengalami seperti ini? Apa yang kalian lakukan?

Comments

Popular Posts