Jalan Tol = Jalan Bebas Motor

Kemarin, untuk kesekian kalinya, saya ditabrak lagi sama motor. Dan rasanya sangat kesal karena tidak bisa ngapa-ngapain. Mau marahin orangnya, dia udah keburu kabur. Mau minta dia bayar pun, kayaknya gak mungkin.

Sekarang saya tahu kenapa saya lebih suka lewat jalan tol. Lewat jalan tol itu tidak perlu pusing, karena tidak ada motor. Meskipun jalan tol bukan jalan bebas hambatan, bukan jalan bebas macet, tetapi setidaknya bebas motor.

Bukan apa-apa, motor sepertinya memang tidak bisa ditertibkan. Beberapa waktu yang lalu saya sempat senang karena pemerintah mulai mengatur motor. Setidaknya mulai ada aturan di kota kita tercinta ini. Para pengendara motor mungkin tidak mengerti, bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas yang berhubungan dengan motor lebih tinggi. Bahkan tidak jarang menyebabkan kematian langsung.

Diatur mereka bukannya senang, tapi malah protes. Dan sekarang sudah tidak tampak lagi yang mematuhi aturan bahwa motor harus di sebelah kiri itu. Sekarang berkendara di Jakarta terasa semakin stressful dan hostile, motor bagaikan peluru yang datang dari segala penjuru, berdesing-desing, bagaikan ribuan panah yang ditembakkan dalam film Hero (Jet Li)

Begitulah yang aku rasakan kalau di jalan-jalan yang banyak motornya. Motor bisa datang dari segala arah. Kadang kita tidak pernah tahu, tiba-tiba saja dia menyeruduk. Kemarin itu mobilku hanya diam di lampu merah. Tetap saja kena. Apa salahku Ya Tuhan?

Saya gak tahan lagi kalau mikirin lalu lintas Jakarta, sehingga akhirnya saya tulis juga di blog ini. It was way to easy, terlalu mudah untuk mendapatkan baret di mobil, di Jakarta ini. Tak heran
asuransi mobil begitu laku. Just to easy. Diam saja bisa kena. Mobil saya yang baru 3 bulan usianya sudah banyak luka, semua karena motor. Motor sudah terlalu banyak, dan di luar kendali.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Tetap saja saya mengharapkan pemerintah mengatur dengan tegas, bahwa motor harus mempunyai jalannya sendiri yang terpisah dengan mobil. Hal ini akan sangat mengurangi kemacetan, dan ini sudah terbukti pada waktu awal-awal ketika aturan motor di kiri diterapkan.

Menurut saya para pengendara motor harus mau juga mengantri, seperti halnya mobil. Mereka tidak mau kalah, egois, mau menang sendiri, tidak mau diatur, sehingga seenaknya sendiri saja, bisa nyelonong lewat arah mana pun. Egois karena tidak mau mengantri, egois tidak peduli
kemacetan dan akibat-akibat lain yang disebabkan olehnya. Belum lagi resiko kecelakaan untuk dirinya sendiri.

Satu hal lagi menurut saya mengapa motor memang harus mempunyai jalur sendiri, karena secara psikologis, pengendara motor itu tidak melihat mobil. Mereka tidak pernah melihat
mobil pasang sign belok kiri/kanan, begitu mereka melihat celah, mereka akan masuk. Saya tahu ini karena saya juga pernah jadi pengendara motor kok. Pengendara motor hanya melihat ruang untuk mereka lalui, dan motor-motor yang lain. They are not aware about cars.

Foto di atas saya ambil waktu jalan-jalan di Bangkok tahun 2003. Kita tidak usah jauh-jauh membandingkan dengan negara-negara maju yang sudah pasti punya aturan khusus untuk motor. Negara tetangga kita Thailand saja sudah lama memberlakukannya. Ketika berhenti di lampu merah pun, motor mempunyai kotak tersendiri.

Kita hidup bermasyarakat harus sama-sama enak. Mengapa motor harus dianakemaskan? Bisa bertindak seenaknya?

Comments

Popular Posts