Sebuah Film Tentang Kerusuhan Yang Bisa Dinikmati


“Siap-siap bête ya,” kataku pada teman-teman yang bersedia menemaniku menonton May malam minggu yang lalu. Meski datang dengan ekspektasi bahwa film itu pasti jelek atau pasti akan bikin bête karena mengingatkan pada kerusuhan Mei sepuluh tahun yang lalu, entah kenapa aku merasa harus menonton film ini. Mungkin karena judulnya. Hehehe.

Awalnya teman-teman pada menolak: Film apaan? Itu tentang kerusuhan kan? Males ah. Mending nonton komedi yang menghibur… Tapi setelah aku paksa dengan alasan aku harus menonton karena mengerjakan tugas (tugas apa coba, kayak kuliah di perfilman aja hahaha) mereka akhirnya mau. Dengan kompensasi sehabis menonton kita nongkrong di La Piazza dengerin musik untuk menghilangkan rasa bête.


Film May mengambil setting di beberapa lokasi yang eksotis sehingga gambar dalam film ini bagus-bagus. Lokasi syuting di Kuala Lumpur, Melaka, dan Semarang untuk menggambarkan daerah kota yang paling buruk terkena kerusuhan sepuluh tahun yang lalu itu.

May---yang diperankan artis pendatang baru Jenny Chang dengan sangat baik---bekerja sebagai penyanyi di sebuah klub malam di Kuala Lumpur. Dia tidak seperti gadis-gadis lain yang bekerja di klub itu. Dia tampak seperti tidak bergairah dalam hidup. Air mukanya tampak seperti mati.

Film ini alurnya lambat, bergerak back and forth antara masa lalu dengan masa kini. Terlihat kontras yang berhasil digambarkan dengan baik oleh Jenny Chang, di mana di masa lalu May adalah seorang yang sangat ceria, ketika dia masih tinggal di Indonesia. Tetapi ketika di Malaysia, dia langsung redup dan tak peduli.

Bisa diduga sesuai dengan tema film ini, bahwa May adalah salah seorang korban kerusuhan 13 Mei 1998. Antara masa kini dan masa lalu yang bolak-balik mengisi layar kaca, penonton digiring untuk memahami, perlahan-lahan, mengapa May jadi seperti saat ini. Dia terpisah dari ibunya karena pada hari yang naas itu, dia keluar rumah untuk pergi casting.

Ibunya yang tempat tinggalnya dilukiskan seperti sebuah daerah Pecinan di Glodok--- lengkap dengan ibu-ibu tua yang gemar bermain mahjong--- pada saat kejadian sangat kalang kabut karena May tidak di rumah. Kerabatnya mengajak dia kabur karena para perusuh sudah dekat. Akhirnya memang sang ibu kabur ke sebuah hotel dan rumahnya yang malang itu habis dan rata dengan tanah.

Suatu kebetulan yang hanya terjadi di film-film ketika tokoh Gandang (Lukman Sardi) dan keluarganya sedang berlibur ke Melaka, Malaysia. Di sana Gandang melihat seseorang yang diingatnya dari masa lalu. Dia adalah Cik Bin (Tuti Kirana) yang kemudian baru diketahui sebagai ibu May.

Setelah pertemuan dengan Cik Bin yang menjadi linglung serta bekerja sebagai pembantu di negeri orang, hidup Gandang tidak tenang. Sementara di Indonesia, Gandang menjadi pengusaha sukses dan sedang bersiap-siap untuk naik haji. Apa hubungannya ya? Perlahan-lahan, dengan alur yang sangat lambat, penonton mulai mengerti duduk perkaranya.

Meski alurnya sangat lambat, endingnya terkesan buru-buru berhubung filmnya cukup panjang. Ada lagi tokoh lain seorang jurnalis bule yang berhasil menemukan May di KL. Begitu juga dengan mantan pacar May sewaktu di Indonesia, seorang cowok Batak yang bekerja sebagai aktivis politik. Gandang, Raymond si bule itu, dan Antares, mantan May, serta seorang bocah bernama Tristan, semua berkontribusi menyumbangkan sebuah ending yang dibiarkan samar-samar hingga dapat disimpulkan sendiri oleh penonton.

Sebuah bayangan tentang keluarga bahagia yang berkumpul kembali setelah peristiwa yang begitu drastic menutup film itu. Apakah akhirnya benar-benar demikian manis? Terserah penonton.

Meski berlatar kerusuhan Mei 1998, film ini bukan film documenter. Bukan juga film sejarah. Mungkin lebih ke film drama, tentang cinta dan memaafkan. Sebuah drama yang indah, dengan gambar-gambar yang cukup baik, pemandangan yang bagus-bagus dan semakin indah dengan soundtrack yang indah.

Pembuat film ini cukup berani mengangkat tema kerusuhan Mei sepuluh tahun yang lalu, karena siapa yang mau menonton film tentang kerusuhan? Tetapi biar bagaimana pun, peristiwa memilukan itu adalah sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi dan menodai sejarah bangsa Indonesia. Sempat ada sedikit adegan yang bikin bergidik, tapi secara keseluruhan, film ini adalah sebuah film yang bisa dinikmati. (=tidak bikin bête kok)

Aku menangis waktu May membuka kotak berisi benda-benda dari masa lalunya yang diberikan oleh Raymond. Ada temanku yang menangis pada waktu Lukman Sardi menelepon istrinya (Ria Irawan) dan menceritakan tentang Cik Bin yang mencari May… Di bagian mana kamu menangis?

Comments

  1. Anonymous11:55 AM

    wah review yg bagus, mei...aku setuju soal ending yg buru2. agak aneh bahwa ketika penonton bisa cukup sabar dgn alur yg lambat, eh pembuat filmnya sendiri justru akhirnya yg nggak sabar hahaha...

    ReplyDelete
  2. thanks mu... senang sekali dipuji seorang Mumu. :)

    ReplyDelete
  3. Anonymous1:40 PM

    Bener banget, ending yg harusnya jadi klimaks malah jadi garing. Padahal gue nunggu momen pas May ketemu sama mama-nya, hiksssss...

    Gue agak terharu sih, Mei... pas bagian May meluk Tristan....

    Nice review, Mei :-)

    -Jo-

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts