Bilangan Fu Ayu Utami

Apabila Goenawan Mohamad pernah menggugat atheisme karena Tuhan tak harus ada (baca: Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada)---maka Ayu Utami menggugat monoteisme yang menjadi akar dari banyak konflik di Tanah Air dalam karya terbarunya: Bilangan Fu.

Paham monoteisme tidak dapat menerima adanya allah-allah yang lain, karena itu, misalnya, ritual adat yang masih marak di desa-desa harus dihapuskan. Padahal, hal itu terjadi karena perbedaan pandangan mengenai angka nol dan satu. Paham monoteisme yang menjunjung tinggi angka satu itu ada sebelum angka nol ditemukan.



Begitulah cara Ayu menjawab monoteisme dengan penjelasan mengenai angka nol dan satu, serta sebuah bilangan yang mempunyai properti nol sekaligus satu. Bilangan itulah yang didaulat menjadi judul buku, yang meskipun terdengar asing, tetap saja orang-orang tidak ragu membeli bukunya karena nama yang tertulis di bawah judul seolah sudah menjadi jaminan mutu.

Karena alasan yang sama itu pula, saya mengamati, di semua toko buku yang sempat aku singgahi, tidak satu pun yang membuka sampul plastik buku ini. Buku ini ditempatkan di bagian-bagian paling utama di toko buku, entah itu best seller atau new release, aku lupa, yang jelas di tempat yang mudah terlihat dan terjangkau. Namun, tak satu pun dari tumpukan buku itu telah terbuka sampul plastiknya. Tidak seperti buku-buku lain yang menggoda calon pembelinya dengan membuka pakaian penutup paling luar.

Ayu Utami yang sudah menghebohkan dunia sastra Indonesia ketika mengeluarkan Saman (1998), yang suksesnya kemudian disusul Larung (2001), kehadirannya sudah lama ditunggu-tunggu. Termasuk aku merasa tidak perlu mengintip sedikit isi buku sebelum membeli. Apalagi sudah mendapat rekomendasi dari dua orang teman.

Terlepas dari bagus atau tidaknya novel ini sebagai suatu karya sastra---aku tidak bisa menilai dalam hal ini---aku menyukai novel ini. Karena meskipun sarat dengan bahasa Indonesia yang cukup asing bagiku, novel ini mengajakku memahami budaya lokal (desa)---di tempat-tempat yang biasanya kita lewatin kalau naik gunung, tapi kita, seperti Yuda si tokoh "aku" dalam buku, tidak pernah peduli dengan masyarakatnya--- spiritualisme tradisional dan sejarah Jawa yang luar biasa memukau.

Ayu juga mengutip beberapa bagian dari Babad Tanah Jawi yang membuatku penasaran pengen membaca kitab yang luar biasa itu.

Belum lama, saya membaca National Geographic Indonesia edisi Maret 2008 yang mengangkat kepercayaan tradisional seperti sesajen, doa-doa kemakmuran dan upacara memperingati pertemuan sultan Jawa dengan dewi laut (nyi Roro Kidul), tentang kuatnya mitos-mitos seperti itu di Indonesia. Itulah bagian dari budaya lokal Indonesia, dan munculnya kepercayaan-kepercayaan itu bukanlah tidak ada alasan. Kepercayaan-kepercayaan yang kita---orang modern---anggap tahyul itu bukanlah bodoh.

Modernisme, monoteisme, dan militerisme, adalah 3 musuh agama bumi. Agama bumi setidaknya berhasil melakukan sesuatu yang gagal dilakukan agama langit (agama-agama Semit), yaitu menjaga kelestarian alam. Orang-orang tidak akan sembarangan menebang pohon karena mereka takut pada pohon.

Sebagai solusi, melalui tokoh Parang Jati, seorang "malaikat" yang muncul begitu saja di sebuah sendang ketigabelas dalam wujud bayi dalam keranjang, mengusulkan sebuah agama baru. Agama itu memuja pohon. Sampai di sini aku pun tertawa terbahak-bahak, karena ternyata seorang sahabatku sudah menganut agama tersebut. Hal itu tertulis di Facebook-nya.

Ternyata yang dimaksud Parang Jati bukanlah agama baru sebagai pengganti agama-agama yang kita ketahui saat ini. Tetapi lebih pada sebuah ajakan untuk bersikap spiritual yang kritis.

Dan panggullah kebenaran itu agar jangan ia jatuh ke tanah dan menjelma hari ini. Sebab ia hanya akan menjelma kekuasaan. Biarlah kebaikan saja yang menjelma hari ini.

Apa maksudnya? Well, sebaiknya baca aja bukunya biar paham secara menyeluruh konsepnya. Kalau aku ceritain sepotong-sepotong, takutnya malah menimbulkan salah pengertian.

Satu hal lagi yang aku suka tentang buku ini adalah penulisnya dapat membagi seluruh cerita dalam 3 bagian besar yang menurutnya menjadi musuh postmodern: modernisme, monoteisme, dan militerisme. Kemudian Ayu dapat membagi setiap bagian besar itu menjadi bab-bab kecil yang berjudul. Seperti Da Vinci Code yang disusun menjadi bab-bab pendek sehingga enak dibaca, Bilangan Fu juga demikian. Lebih hebat lagi karena setiap bab-bab pendek itu menceritakan sesuatu sesuai dengan judulnya. Meskipun bukan penulis, aku percaya itu tidak mudah.

Comments

Popular Posts