Pertaruhan: Inilah Realitas Kita!!!


Ketika Ucu Agustin kembali ke Jakarta setelah syuting di Tulungagung untuk film “Pertaruhan” dia merasa seperti masuk ke alam mimpi. Jakarta bagaikan sebuah negeri fantasi di mana uang begitu banyak dan “mengucur” dengan mudahnya bagaikan air (meminjam istilah Ucu), sementara di tempat di mana dia baru menghabiskan waktu beberapa bulan semua terasa begitu nyata. Begitu sulit.

Selesai menonton “Pertaruhan” kita menjadi malu pada gelas-gelas Starbucks yang sudah familiar dengan hidup kita sehari-hari, yang menemani meeting-meeting kita dengan klien. Satu gelas kopi seharga Rp 43.000 sudah biasa bagi kita, sementara tahukah Anda, bahwa Nur, salah satu perempuan Tulungagung yang dipotret kehidupannya oleh Ucu itu, harus tidur dengan empat orang untuk mendapatkan uang sebanyak itu?

Ya. Terhenyak aku (dan pasti juga semua penonton) ketika mengetahui tarif yang dipasang perempuan-perempuan yang menjajakan dirinya pada malam hari di kompleks pemakaman Cina di Bolo, Tulungagung itu. Hanya 10.000 sekali main. Dan Nur harus mendapat minimal 5 klien dalam satu malam agar dapat mencukupi hidupnya dan dua anaknya yang masih bersekolah SD.

Tidak cukup itu saja, Nur yang telah ditinggal suaminya, juga bekerja kasar sebagai pemecah batu. Setiap pagi setelah menitipkan anaknya pada seorang pengasuh (yang menjaga anaknya setelah pulang sekolah), Nur pun berjalan kaki ke tempat kerjanya, memecah batu-batu kali menjadi kecil-kecil agar bisa dijual. Pada malam hari setelah anaknya tidur, Nur pun berdandan, mengoleskan gincu merah menyala dan bedak yang tebal, mengenakan pakaian terbaiknya dan berangkat naik ojek ke pekuburan Cina.

Tempat gelap yang harusnya angker itu (karena kuburan), telah menjelma sebuah arena prostitusi kelas bawah yang sama sekali tidak glamor. Pada siang hari orang-orang Tionghoa bersembahyang di sana. Pada malam hari, di kanan kiri kuburan, di semak-semak, di tempat-tempat gelap dan apa adanya, sebuah realita yang tidak terbayangkan oleh kita, dapat terjadi.

“Pertaruhan” terdiri dari empat film pendek yang terpilih melalui workshop yang diadakan Kalyana Shira Foundation, sebuah project idealis sutradara dan pembuat film kawakan Nia Dinata. Selain Ucu dengan film berjudul “Ragate Anak”, tiga film lainnya adalah: "Mengusahakan Cinta" (Ani Ema Susanti), "Untuk Apa" (Iwan Setiawan dan M Ichsan) dan “Nona Nyonya” (Lucky Kuswandi). Ketiga film terakhir tidak kalah seru dan menghenyakkan.

Semuanya memotret kehidupan asli dari tokoh-tokoh asli, dengan cara yang santai dan apa adanya. “Mengusahakan Cinta” menceritakan kehidupan (cinta) TKI di Hongkong, “Untuk Apa” mempertanyakan perlunya sunat pada perempuan (aku aja baru tahu ternyata perempuan muslim disunat), dan “Nona Nyonya” melukiskan sulitnya wanita single dan wanita pada umumnya mendapatkan informasi kesehatan reproduksinya.

Film ini perlu ditonton oleh siapa saja, dan terutama oleh perempuan agar lebih memahami realitas perempuan di tengah masyarakat Indonesia. Seperti kata Nia Dinata, film adalah cara syiar yang paling efektif karena memotret realitas apa adanya, tidak menggurui. Dan film ini menyampaikan pesan dengan cara yang santai serta di berbagai adegan Anda akan mendapati diri Anda tertawa-tawa. Film ini pantas mendapat acungan jempol dan mudah-mudahan banyak masyarakat kita yang menontonnya sehingga pikiran kita (dan juga nurani kita) semakin terbuka.

Film ini (masih) diputar di Blitz Megaplex, dengan jadwal sebagai berikut: Grand Indonesia: 12.00/ 14.30/ 19.30/ 22.00, Pacific Place: 12.15/ 18.00/ 22.15, Paris Van Java (Bandung): 12.30/ 15.00/ 17.30/ 19.30 dan rencananya akan diedarkan melalui kampus-kampus dan institusi lainnya.

Comments

  1. Anonymous5:30 PM

    Memang mengenaskan kisah Nur, jika dilihat dari perspektif penderitaan. Namun ada banyak perspektif lain yang bisa kita gunakan untuk mencermati kondisi ini.

    Salah satunya adalah perspektif pilihan hidup. Sebagai orang dewasa, kita memiliki pilihan untuk menjalani hidup. Demikian juga Nur, saya melihat ia memiliki kekuatan, tetapi kurang memiliki kemauan untuk menjalani hidup yang lebih 'normal'.

    Seandainya saja ia mau, pasti ia dapat menemukan pekerjaan lain yang lebih 'baik'.

    Dalam film tersebut tidak terlihat bagaimana upaya Nur untuk keluar dari kerja 'malam'nya.. untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik.. yang tampak hanyalah kepasrahan saja dan sepertinya menikmati 'comfort zone' nya.

    Sekali lagi, setiap orang memiliki pilihan hidup... pilihannyalah yang menentukan bagaimana kualitas hidup orang tersebut.

    salam,
    venus

    ReplyDelete
  2. Wah jadi pengin nonton filmnya.....

    ReplyDelete
  3. Anonymous11:31 AM

    Satu keterangan penting yang perlu ditambah: film ini adalah film dokumenter, bukan film fiksi terlebih film fiksi hollywood. Begitulah film dokumenter bicara realitas dengan sejujur-jujurnya.
    Aku punya banyak film dokumenter lain lho! :-)

    ReplyDelete
  4. Anonymous11:59 AM

    Bila film ini diputar di daerah miskin pedalaman. Mungkin para penonton dan pelacur lokal akan berujar, "beruntung sekali mereka, di sini dihargai 2 potong singkong sekali main".

    Bahkan ternyata penghasilan mereka ternyata lebih besar dari kebanyakan pembantu rumah tangga, dan banyak perempuan lain yg menolak melacur karena menghargai kelaminnya. Bukan karena takut dosa, tapi karena dirasa tidak pantas semata.

    Pekerjaan melacur memang memungkinkan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Membandingkan layanan kelamin Mbak Nur dengan segelas kopi starbuck tentunya tak sepenuhnya tepat. Sepuluh ribu rupiah itu tentu cukup besar untuk ukuran Gunung Bolo. Di banyak daerah miskin di Indonesia, segelas kopi berharga 43,000 tak masuk di akal sehat dan hanya impian.

    Akan makin dramatis bila film ini diputar di festival luar negeri karena kelamin itu hanya berharga satu dolar amerika, kurang dari satu euro. Tak cukup bahkan untuk air mineral ukuran kecil.

    Buat penikmat kopi starbuck 10,000 sebagai ongkos melacur tentu mengherankan, bahkan mungkin menjijikan karena mereka bukan orang yang sudi mengeluarkan duit segitu untuk layanan seksual.

    Keinginan sebagaian orang untuk menyumbang pendidikan anaknya menjadi ironis. Kalau dermawan itu sedikit rajin mencari, banyak perempuan (atau bukan perempuan) yg anaknya butuh bantuan, karena mereka enggan melacur. Ditambah pula, kisah hidup mereka adalah kemiskinan biasa yang tak menarik untuk dibuat film. Sehingga tak diketahui khalayak ramai.

    Lepas dari konteks itu, film ini secara dramatis memang tergarap dengan baik, terutama dalam menghadirkan kontras keras dan teriknya pekerjaan di siang hari dengan 'glamor'-nya kehidupan di malam hari.

    Apakah film ini ingin membuat pernyataan bahwa menjual kelamin menjadi "boleh" bila dikaitkan dengan kebutuhan hidup? Bila demikian, menjadi wajar pula pekerjaan seorang teman, yaitu memberikan layanan serupa bagi para milyuner dan pejabat. Tentunya dengan ongkos sekitar 100 x lipat sekali main. Ia pun butuh itu untuk sekolah anaknya di Amerika.

    ReplyDelete
  5. Anonymous2:39 PM

    aku aja baru tahu ternyata perempuan muslim disunat -> di komunitasku, sunat perempuan tidak populer sehingga aku rasa itu hanya tradisi di tempat tertentu saja, bukan ajaran agama. jadi setauku tak ada famili perempuanku yang disunat.

    Starbuks 43 ribu? Emang mahal! Mendingan Indocafe sachetan saja sudah enaaaakkk....:D

    btw, comentar2 dari anonymous wise2 :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts