Seberapa efektif training soft skills?



Belakangan ini semakin banyak saja institusi yang menyediakan training soft skills. Apa itu soft skills? Untuk mendefinisikan soft skills, saya akan mulai dari kebalikannya, yaitu Hard skills. Hard skills adalah segala keterampilan yang berhubungan langsung dengan pekerjaan. Misalnya, untuk seorang akuntan hard skills-nya adalah keterampilan dan ilmu-ilmu akuntansi. Seorang wartawan adalah keterampilan reportase dan menulis. Seorang editor keterampilannya adalah keterampilan berbahasa dan menulis, misalnya. Seorang HRD hard skills-nya seperti keterampilan administrasi karyawan, career plan, penyusunan KPI, dll. Intinya segala hal yang berhubungan langsung dengan pekerjaan.

Semakin tinggi posisi seseorang, hard skills saja menjadi tidak cukup. Misalnya, untuk seorang wartawan, agar bisa menjadi pemimpin redaksi ataupun redaktur pelaksana, hard skill menulis saja tidak cukup. Suatu posisi manajerial menuntut dia untuk memiliki skill seorang pemimpin. Di sini dibutuhkan leadership, keterampilan manajerial dan juga keterampilan bisnis, agar dia dapat mengembangkan media yang dipimpinnya. Dia juga dituntut untuk memiliki kecerdasan emosional yang cukup serta keterampilan bergaul sehingga dapat memperluas jaringan.

Seorang editor yang terampil mengedit belum tentu cocok menjadi pemimpin. Untuk masuk ke posisi pengambil keputusan dia dituntut juga untuk memiliki insting yang tajam untuk membaca pasar. Sebagai pemimpin divisi misalnya, dia harus memutuskan buku-buku asing mana yang layak untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Demikian pula seorang programmer di sebuah perusahaan jasa internet. Keterampilan programming yang sangat bagus tidaklah cukup untuk seorang dapat masuk ke posisi manajerial. Karena perusahaan bergerak di bidang jasa, keterampilan untuk melayani customer juga tidak kalah pentingnya dibanding soft skills yang lain.

Kedua contoh yang saya sebutkan terakhir memang masih berhubungan dengan pekerjaan, tetapi saya lebih melihat itu sebagai soft skills, karena keterampilan itu dapat juga digunakan dalam profesi yang lain (tidak hanya dibutuhkan pada profesi editor dan profesi programmer). Bila kita sudah mempunyai keterampilan soft skill yang tinggi, kecenderungannya kita lebih mudah untuk berganti profesi, berpindah bidang pekerjaan.

Khususnya untuk posisi direksi. Misalnya, Arwin Rasyid pernah menjadi dirut Bank Danamon dan kemudian menjadi dirut PT Telkom. Sekarang kalau tidak salah adalah pimpinan tertinggi bank CIMB Niaga. Bahkan saya pernah mendengar cerita tentang seorang office boy yang bisa menjabat sebagai vice president sebuah bank besar di tanah air.

Ketika sudah di level direksi, kita tidak membicarakan detil lagi mengenai hard skills tertentu yang berhubungan dengan bidang yang digeluti oleh perusahaan. Tetapi keterampilan-keterampilan yang berlaku umum, seperti leadership, manajerial, bisnis insting, strategic planning, dan customer service menjadi sangat penting.

Keterampilan seperti itulah yang ditawarkan oleh penyedia-penyedia training soft skills, dengan fokus yang berbeda-beda. Kebanyakan berfokus pada leadership, tetapi ada juga yang menonjolkan emotional intelligence, spiritual intelligence, dan juga pembangunan karakter. Saya percaya training-training seperti itu pastilah disusun dengan metodologi yang beralasan, bukan sembarangan. Sejumlah dasar teori psikologi pastilah melandasi metodologi yang digunakan.

Beberapa training yang pernah saya dengar, membuat seorang bercermin dan menangisi kekurangan-kekurangan dia, lalu bertekad untuk berubah. Pertanyaannya kemudian adalah, sampai berapa lama efektivitas training ini?

Mas Yodhia pernah menulis di blognya, bahwa, sama seperti training hard skills, untuk training ini juga diperlukan semacam evaluasi. Agar setelah meninggalkan training dengan semangat baru, semangat dan perubahan itu tidak hilang begitu saja setelah satu bulan, atau bahkan satu minggu. Perusahaan yang sudah mengeluarkan investasi beberapa juta rupiah perlu mendapatkan return on investment (ROI).

Menanggapi banyaknya training seperti ini, saran saya adalah melihat ke dalam training apa yang benar-benar kita butuhkan. Tidak semua perusahaan mempunyai kebutuhan soft skills yang sama, dan tidak semua individu mempunyai kebutuhan training yang sama. Dan juga, keinginan untuk belajar harus muncul dari individu yang mengikuti training, bukan dipaksakan oleh perusahaan. Bila niat untuk belajar (=berubah) tidak dari diri sendiri, berapa pun investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak ada gunanya.

Bagaimana memunculkan niat itu? Saya akan coba menjawabnya dengan teori belajar. Suatu pembelajaran dikatakan telah berhasil apabila perilaku seseorang berubah. Orang yang tadinya tidak bisa naik sepeda menjadi bisa naik sepeda, orang yang tadinya tidak bisa menulis menjadi bisa menulis, demikian pula orang yang tadinya malas menjadi rajin. Semua proses belajar harus menghasilkan perubahan. Dan perubahan perilaku itu bertahan untuk jangka waktu yang lama. Seperti setelah kita bisa bersepeda dan menulis kita akan menguasai kedua hal itu untuk jangka waktu yang sangat lama. Demikian pula, kita baru bisa dikatakan berubah dari malas menjadi rajin apabila kita rajin bukan hanya dalam waktu satu minggu atau satu bulan, tetapi telah menjadi perilaku kita sehari-hari sampai waktu yang cukup lama.

Dasar dari hampir semua teori belajar adalah adanya reward dan punishment. Seorang mau berubah apabila ada reward, ataupun karena punishment. Teori yang sangat mendasar ini telah kita ketahui sejak kecil. Sejak di sekolah, guru menghukum murid apabila tidak mengerjakan PR. Orangtua menghukum apabila kita nakal. Orangtua menjanjikan membelikan sepeda apabila kita juara. Apabila ada suatu perilaku yang kita harapkan pada seseorang, maka kita memberi mereka reward ataupun punishment---tergantung sikon, mana yang lebih cocok---untuk memunculkan perilaku tersebut.

Perusahaan yang baik mempunyai sistem reward dan punishment yang baik juga. Agar karyawan memberikan perilaku yang diharapkan perusahaan, serangkaian reward dan punishment yang jelas dan adil harus ada. Bentuknya bermacam-macam sesuai dengan kondisi perusahaan. Ada yang berupa penilaian kerja yang berbuntut kenaikan gaji, bonus ataupun promosi. Punishment berupa pemotongan hak karyawan hingga pemecatan.

Reward dan punishment tidak harus berbentuk materi. Reward bisa juga berbentuk pujian dari atasan, penerimaan dari rekan-rekan kerja, seperti halnya punishment dapat berupa pengucilan oleh bos, tidak diakui oleh rekan-rekan kerja, dan sebagainya. Hal yang paling akan berhasil membuat kita berubah adalah hal yang paling meaningful atau mempunyai pengaruh yang signifikan secara emosional terhadap kita.

Training-training soft skills mencoba memberikan simulasi kondisi nyata dengan reward dan punishment yang dibuat sedemikian rupa agar lebih mudah (dan cepat) memunculkan perasaan emosi itu, sehingga seseorang mau berubah. Karena itulah menurut saya, setelah mengikuti training ini bukan berarti proses belajar sudah selesai. Tetapi justru malah baru dimulai, karena kemudian semua itu baru bermanfaat apabila diterapkan dalam kondisi real. Dan tempat paling baik untuk belajar adalah tempat di mana perilaku itu diperlukan.

Jadi, apabila ada teman Anda yang pulang dari salah satu training itu dan mengatakan bahwa “Saya telah Berubah,” tanyakan padanya “Are you sure?” Karena perubahan itu selain dirasakan oleh diri sendiri, juga harus dapat dirasakan oleh orang lain.

Comments

  1. Anonymous2:23 PM

    Seorang editor yang terampil mengedit belum tentu cocok menjadi pemimpin. --< setuju! karena itulah aku tidak ingin naik pangkat. cukuplah bagiku naik gaji :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts