South Korea Trip (2): Pulau Nami (Nami som) dan Chuncheon Dakgalbi Street



One thing about South Korea, mereka itu telepon selularnya hanya menggunakan CDMA dengan frekuensi yang aneh sendiri. Jadi, the bad news is, kita gak bisa bawa telepon dari Indonesia untuk diisi kartu mobile phone yang bisa digunakan di sana. Alhasil, selama trip di Korsel, kita tidak bisa terhubung dengan dunia luar. Sounds like a good place for honeymoon hehehe.

Karena itulah, setelah membeli tiket bus ke Gapyeong dan ternyata busnya baru ada jam 12.00, dan saat itu masih sekitar jam 10.00-an, kami pun sibuk mencari telepon umum. Repotnya lagi, tidak ada yang punya koin Korea dan untuk menelepon internasional harus menggunakan calling card. Terpaksa deh beli calling card seharga (kalau gak salah) equals 100.000 rupiah. Itu bisa digunakan selama sekitar 30 menit untuk menelepon ke Jakarta. Cukuplah hanya untuk mengatakan, saya sudah sampai di KOrea! Tapi kalau untuk pacaran ya gak cukup. Satu-satunya cara adalah mencari internet. Pada waktu itu tidak terlihat ada tanda-tanda warnet, jadi ya sudah, keinginan itu harus disimpan hingga bertemu dengan fasilitas internet.



Perjalanan dari Incheon ke Gapyeong memakan waktu kira-kira 2 jam lebih. Busnya sangat nyaman, ukurannya besar dan tempat duduknya dua-dua di sisi kanan dan kiri. Tidak disesaki penumpang. Hari itu Sabtu ternyata perjalanan kita agak macet, karena di hari Sabtu memang banyak yang berkunjung ke tempat wisata. Pulau Nami adalah salah satu tempat wisata yang paling hot di sana. Ternyata sempat juga kami menyaksikan kemacetan di Korea, tetapi emang tidak ada bandingannya kalau dibanding dengan kemacetan di Jakarta.

Tiba di Gapyeong terminal bus, kita harus mencari bus nomor 33-5 jurusan Nami som Pier. Semua informasi tersebut sudah kami riset sebelumnya dan juga dibantu oleh seorang teman yang ada di Korsel. Teman tersebut adalah anak Indonesia yang kuliah di sana, dia kebetulan hari ini juga mau join kita ke Nami, ketemu di sana. Dia bersama seorang teman lain dari Indonesia dan seorang lagi dari Laos.

Pukul 14.50 kami tiba di Gapyeong. Saat itu hujan dan kami semua kedinginan. Agak lapar juga, tapi belum tahu mau makan apa. Ada jajanan-jajanan yang tampak menggiurkan, tapi masih belum Pede untuk membelinya. Salah seorang teman malah mampir ke Family mart terdekat untuk membeli payung.

Sepuluh menit kemudian bus yang kami tunggu-tunggu sudah tiba. Perjalanan ke dermaga (pier) tidak lama, hanya sekitar 10 menit. Tiba di dermaga itu kami semua tercengang. Buseeetttt rame bangetttt. Antrian membeli tiket ferry saja sampai melilit seperti ular. Panjangnya mungkin (haduh, berapa ya? gw gak terlalu bisa mengukur) lebih dari 20 meter. Setelah antri tiket ferry kita masih harus mengantri untuk naik ke ferry, karena itu saran dari teman yang di Korea, yang sudah tiba duluan di Nami, sebaiknya dibagi dua team, ada yang mengantri untuk tiket, dan ada yang mengantri untuk naik ferry.

Sejak Winter Sonata mendunia, memang tempat ini jadi meledak dan mulai menjadi tidak nyaman untuk dikunjungi. Terutama mungkin pada musim gugur kali ya, ketika barisan pohon-pohon di kanan kiri jalur Bae Yong jun bersepeda di film Winter Sonata itu paling indah. Entahlah, tapi pada saat musim salju juga pasti gak kalah bagusnya. Dan kita juga bisa membuat boneka-boneka salju.

Yang jelas, antri-mengantri itu memakan waktu satu jam! Tiba di pulau Nami, teman-teman dari Indo dan Laos itu sudah menunggu. Suasana di sana sangat, sangat ramai. Pulau itu penuh dengan manusia. Begitu tiba di sana, pemandangan pertama yang menyambut kami adalah ribuan manusia yang mengantri panjang untuk ferry yang menyeberang pulang kembali (ke arah kami baru saja datang). Antrian itu memanjang hingga barisan pohon-pohon tinggi di kiri-kanan jalan itu.

Di Pulau Nami ini sebenarnya banyak aktivitas yang bisa dilakukan. Selain berjalan melintasi barisan pepohonan yang panjang itu, kita juga bisa menyewa sepeda. Seperti halnya di Winter Sonata, kita bisa menyewa sepeda boncengan sambil menikmati indahnya pulau itu. Nah... pada saat kami ke sana, bukannya pemandangan alam lagi yang bisa dinikmati, tetapi sudah terlalu padat dengan manusia. Mau foto-foto juga sulit. Di mana-mana penuh manusia. Ayah dan ibu serta anak Korea yang mengenakan baju-baju musim dingin karena udara saat itu cukup dingin.

Kami kedinginan dan mulai merasa pakaian yang dibawa tidak cukup. Aku sendiri tidak membawa topi kupluk dan syal. Hanya jaket seadanya dan itu ternyata tidak cukup untuk melawan angin.

Akhirnya, kami pun tidak betah lama-lama di sana. Hanya sekitar 1 jam cukup untuk mengelilingi pulau itu dengan berjalan kaki, melihat-lihat apa yang ditawarkan di sana. Banyak spot untuk berfoto bersama Baeyongjun dengan gaya-gaya Winter Sonata, tapi tentu saja bukan Baeyongjun asli, hanya fotonya atau patungnya hehehe.

Sekitar pukul 17.00 kami menyeberang kembali ke seberang. Dari sana karena udah sore, tidak ada bus lagi, dan juga kalau rame-rame naik taksi bisa lebih irit dari naik bus, maka kami pun naik taksi menuju Gapyeong. Naik bus satu orang 1.000 won (sekitar 9000 rupiah). Naik taksi begitu buka pintu beda-beda tergantung daerah. Di Gapyeong sini 1800. Sampai Gapyeong 4100, dibagi 4 ya sama aja sih 1000-an juga.

Chuncheon

Dari sana kami menuju destinasi selanjutnya, yaitu Chuncheon. Karena kota terdekat dari Nami untuk tempat menginap (dan tidak terlalu mahal) adalah Chuncheon, maka kami memilih menginap di sana malam itu. Dari Chuncheon juga mudah bertolak ke destinasi selanjutnya, yaitu Mount Seorak. Di Chuncheon ada tempat wisata yang terkenal yaitu Dakgalbi street di daerah Myeongdong. Myeongdong juga ada di Seoul, salah satu kawasan wisata yang terkenal juga. Kalau di Chuncheon, Myeongdong juga pusat keramaian pada waktu malam.

Kalau ke Chuncheon jangan sampai melewatkan Dakgalbi Street. Dakgalbi adalah nama makanan khas Korea di mana berbagai sayuran dimasukkan ke dalam sebuah wajan besar dan dimasak bersama dengan daging ayam, rasanya enak sekali. Orang Korea biasanya menghabiskan waktu malam-malam mereka sambil minum bir (soju) dan berlama-lama menyantap dakgalbi ini.

Namun, sebelum sampai ke sana, kami harus mencari hotel dulu untuk menaroh barang-barang dan mandi. O ya, mundur sedikit, dari Gapyeong tadi kami naik bus ke Chuncheon terminal, lalu dari terminal masih menyambung taksi ke Myeongdong street. Di sana kami muter-muter dengan backpack di punggung, mengetuk satu per satu pintu motel, apakah ada kamar, dan apakah harganya serta kondisinya cocok.

Kami keluar lagi sekitar pukul 21.30 dan mulailah berpesta dakgalbi. Di sinilah aku pertama kali mencoba soju, bir khas Korea yang sangat terkenal itu. Kalau di Jakarta, di resto-resto Korea, harga satu botol bisa mencapai 60.000. Di sini 2500 won, alias gak nyampe 25.000 deh. Yah lumayan lah...

Kembali ke motel sekitar pukul 23.00, kami semua merasa sangat lelah malam itu. Semalam sebelumnya kami tidak tidur, karena tidak bisa tidur di pesawat, lalu langsung dilanjutkan dengan jalan-jalan yang jauh dan kedinginan pula. Banyak jalan kaki menjinjing ransel berat di punggung.

Untunglah fasilitas hotel cukup baik. Di sinilah yang aku maksud dengan tidak seheroik perjalanan tahun lalu. Karena kami sudah mencoba mencari motel termurah, tapi ternyata fasilitas minimum pun di sana sangat baik. HOtel ada pemanas ruangan, kasur ada penghangat, lantai pun ada ondol (di sana terkenal dengan lantai hangat bernama ondol sejak zaman kerajaan Sila). Air panas, handuk, hair dryer, dan teko untuk kopi. Satu kamar 40.000 won, bisa untuk bertiga. Kami semua tidur sangat sangat nyenyak malam itu.


to be continued

Comments

  1. Anonymous8:29 AM

    Foto2nya dong mei!

    ReplyDelete
  2. nice post!
    btw, boleh tau gak nama hotel pas di chuncheon, aku ada rencana mau kesana juga :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts