Black Swan dalam Lonely Planet Story



Once while traveling across the sky, this lonely planet caught my eye,” demikian Tony Wheeler bernyanyi pada suatu hari. Tanpa disadarinya, dia telah salah menyanyikan lirik lagu Space Captain (Joe Cocker) yang kemudian dikoreksi oleh Maureen, istrinya.

“Bukan begitu liriknya,” kata Maureen, “Yang benar adalah lovely planet.” Namun, meskipun mengakui kekeliruannya, Tony tetap merasa lonely planet kedengarannya lebih bagus. Dan begitulah cara nama Lonely Planet ditemukan.

Meskipun terdengar tidak serius dan jauh dari kesan bisnis, nama itu jelas adalah nama yang sulit dilupakan. Kini nama itu sudah menjadi sangat familiar di kalangan pelancong, khususnya para pelancong mandiri yang tidak butuh tour guide atau tour agent. Sebagai brand, Lonely Planet termasuk salah satu brand yang dicintai, sebuah brand yang memiliki engagement yang baik dengan pemakainya. Pada tahun 2004 terpilih menjadi salah satu dari 10 brand terbaik di Asia Pacific dalam Interbrand Readers’ Choice Brand of the Year, dikalahkan oleh Sony, Samsung, Toyota, LG, dan Singapore Airlines.

Tentu saja kesuksesan Lonely Planet, sama seperti banyak kisah sukses lainnya, bisa dikatakan sebuah Black Swan (suatu kejadian yang tidak pernah diduga sebelumnya) juga. Sama seperti penemuan namanya yang terjadi secara tidak sengaja, bisnis penerbitan buku panduan juga bukanlah sesuatu yang direncanakan Tony dan Maureen Wheeler ketika muda. Mereka adalah fresh graduate dari London, pada waktu itu Tony sudah mendapatkan pekerjaan dari Chrysler, namun dia memutuskan untuk melakukan perjalanan terlebih dahulu sebelum mulai bekerja. Surat panggilan dari Chrysler itu hingga kini masih disimpan oleh Tony.

Semua berawal dari sebuah perjalanan fenomenal yang mereka lakukan dari Eropa menuju Australia. Lewat darat. Perjalanan itu melewati tempat-tempat eksotis di Asia, seperti Afghanistan, India, Nepal dan Asia Tenggara, termasuk tentu saja, tanah air kita tercinta.

Bisa Anda bayangkan, pada saat itu masih tahun 1971-1972, masih sangat jarang orang Eropa yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat eksotis itu. Thailand baru mulai membuka dirinya untuk pelancong, dan Pantai Kuta---seperti dilukiskan dalam buku ini---hanya memiliki satu jalan setapak berpasir menuju pantai dan akomodasi hanya ada Hotel Kuta Beach dan dua lusin losmen.

Setelah mereka berhasil melakukan perjalanan itu, tentu saja banyak sekali pertanyaan, bagaimana kalian melakukannya? Bagaimana kalian, misalnya, menyeberangi Afghanistan menuju India? Dan berbagai pertanyaan lain, serta pada saat yang sama mereka sempat kehabisan uang di Australia, yang membuat Maureen berpikir, mengapa mereka tidak membuat buku panduan perjalanan? Maka lahirlah buku pertama mereka, Across Asia on the Cheap.

Buku ini mendapat sambutan yang sangat baik di Australia, yang tentu saja kemudian mendorong lahirnya buku-buku selanjutnya. Sementara pertanyaan tentang perjalanan mengilhami lahirnya Lonely Planet, buku Lonely Planet Story ini juga ditulis dengan alasan yang sama---karena orang-orang terus bertanya, “Bagaimana ceritanya dua orang backpacker dengan 27 sen akhirnya bisa mengelola perusahaan multinasional?”

Jawaban pertanyaan itu diurai dalam 565 halaman buku ini. Banyak cerita yang menarik, selain cerita petualangan dalam perjalanan ke negara-negara eksotis (yang sekarang sudah menjadi tidak terlalu eksotis lagi), buku ini juga memuat banyak kisah jatuh bangun sebuah perusahaan, tentang membangun sebuah perusahaan start-up dari nol, dan liku-liku bisnis penerbitan buku panduan. Kita bisa menemukan black swan-black swan kecil di dalam sebuah black swan besar kesuksesan Lonely Planet.

Seperti misalnya, cerita bagaimana Steve Hibbard diangkat menjadi CEO Lonely Planet. Pada 1993, Lonely Planet telah mencapai tahap menjadi perusahaan yang dijadikan objek studi kasus mahasiswa sekolah bisnis. Suatu hari sebuah kelompok mahasiswa dari Melbourne Business School meminta data seperti “diagram alir” dan “struktur hirarki” perusahaan, sebuah permintaan yang menurut Tony dan Maureen cukup menghibur, karena mereka tidak memilikinya.

Setelah itu mereka pun mendatangi presentasi kelompok mahasiswa tersebut dan menyimak pada waktu mahasiswa menjelaskan apa yang telah membuat mereka sukses dan memaparkan tantangan yang akan mereka hadapi di masa depan.

Tidak lama setelah itu, Steve Hibbard, salah satu dari kelompok mahasiswa itu, mengusulkan agar dia bekerja untuk Lonely Planet selama enam bulan untuk mengidentifikasi area-area yang memerlukan perbaikan untuk membawa perusahaan ke depan. Tony dan Maureen berpikir, mereka selama ini menjalankan perusahaan dengan cara mereka sendiri, kurang memberi perhatian pada sisi “bisnis,” keputusan dibuat dari hari ke hari dan kurang perencanaan serta analisa secara keseluruhan serta pengawasan terhadap pembelanjaan.

Di situlah Steve mulai bekerja. Alih-alih hanya enam bulan, dia telah bersama Lonely Planet selama sepuluh tahun. Mulai dari jabatannya sebagai general manager, dia telah memasukkan kedisiplinan dalam perencanaan bisnis Lonely Planet, hingga dia pun diangkat menjadi CEO.

Pada bab-bab terakhir Tony juga menjawab suatu hal yang menjadi pertanyaan kita semua, bagaimana Lonely Planet menjawab tantangan perkembangan internet, dimana banyak informasi panduan wisata begitu mudah diakses secara gratis? Lonely Planet jelas tidak ketinggalan dalam era “information superhighway” ini. Di buku ini juga dipaparkan pandangan Tony tentang perkembangan teknologi.

Pada bagian terakhir terdapat tulisan Maureen yang menganalogikan Lonely Planet sebagai anak mereka sendiri. Saya kutip dari buku:

“Saat anak-anakmu masih sangat kecil, mustahil untuk membayangkan kehidupan ketika mereka takkan tinggal bersamamu, ketika kau takkan melihat mereka setiap hari atau mengetahui apa yang mereka lakukan. Saat mereka tumbuh dewasa kau pelan-pelan melepaskan dirimu dari diri mereka sampai tiba harinya ketika kau memandang anakmu dan melihat orang dewasa yang terpisah, dan menyadari bahwa peran yang kaumainkan dalam hidup mereka tak lagi sentral. Sulit mengakui bahwa anakmu sudah mandiri, tetapi hal tersebut juga teramat membebaskan.”


(Tulisan ini adalah resensi saya yang kedua untuk buku Lonely Planet Story tulisan Tony dan Maureen Wheeler yang versi Indonesianya diterbitkan oleh Mizan. Resensi yang pertama untuk PortalHR menyorot sisi HR dari kisah ini sementara resensi yang ini berfokus pada hal-hal yang mempunyai relevansi personal untuk saya. Thanks for reading!)

Comments

Popular Posts