Sawarna Trip





Bagi saya trip ke desa wisata Sawarna beberapa minggu yang lalu dapat disimpulkan dalam beberapa kata: fun, refreshing, and cheap. Tidak terlalu jauh dari Jakarta, sekitar 230 km jaraknya, yup, kamu bisa secara impulsif memutuskan untuk melupakan Jakarta sejenak dan kabur ke sini pada akhir pekan. Tinggal siapkan mobil (kalau tidak punya mobil bisa menyewa ataupun pinjam mobil kantor), ajak beberapa teman untuk saweran bensin, dan berangkat deh...

Kami berangkat hari Sabtu pagi-pagi sekali, actually masih belum pagi, yaitu jam 4 pagi, waktu yang aneh untuk memulai sesuatu. Tetapi sebenarnya setelah kami pikir-pikir lagi, sebenarnya berangkat jam 5 atau jam 6 pun tidak apa-apa. Semua ini karena awalnya kami berencana berangkat hari Jumat malam, namun setelah dipikir ulang perjalanan malam lebih berbahaya dan melelahkan, maka kami pun bareng-bareng menginap di rumah salah seorang teman dan bangun pada jam yang super aneh, pukul 3 pagi.

Untuk mencapai Sawarna, rute yang kami tempuh adalah dari Jakarta (melalui tol Merak) - Serang - Pandeglang - Malingping - Bayah - Sawarna. Kami berhenti beberapa kali untuk toilet dan makan sehingga baru tiba di Sawarna sekitar pukul 11 siang. Total waktu yang diperlukan dari Jakarta ke Sawarna 5-7 jam tergantung ritme perjalanan masing-masing. Sebelum tiba di Malingping akan melalui jalan rusak sepanjang 27 km, bagian ini yang cukup memperlambat perjalanan. Namun setelah itu, kita akan terhibur oleh pemandangan yang luar biasa di sebelah kanan, karena kita sudah menyusuri pantai selatan Jawa menuju Bayah. Di sebelah kanan kita terdapat pantai yang indah, tak jarang pantai tersebut dipadukan dengan sawah menghijau yang memancarkan kesuburan tanah Banten. Matahari bersinar cerah dan angin berhembus segar, sangat refreshing dan melepaskan kita dari kepenatan kehidupan di Jakarta.

Desa Sawarna terletak di kabupaten Lebak, propinsi Banten. Desa ini disebut salah satu desa wisata karena memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Sawarna memiliki alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga serta penduduknya yang masih menjaga tradisi budaya tradisional. Lalu apa saja atraksi yang ada di sana?

Sawarna memiliki beberapa pantai dan gua. Tipe rekreasi yang bisa dilakukan di sini adalah sightseeing, beaching, caving, dan melihat village culture. Menurut saya, yang paling utama dari semuanya adalah pantainya: Pantai Ciantir, Pantai Layar dan Pantai Lagoon Pari. Tidak seperti Pelabuhan Ratu (yang berjarak 2 jam dari sini) pantai-pantai di desa Sawarna tersembunyi, untuk mencapainya kita harus melakukan soft trekking (alias berjalan kaki) melalui pedesaan selama kurang lebih 30 menit. Bagi saya, justru inilah yang menyenangkan, ketika mencapai pantai seolah menemukan harta karun yang tersembunyi. Rasanya bagaikan DiCaprio menemukan The Beach. Tidak heran banyak yang menyebut Sawarna sebagai the hidden heaven on earth.

Setelah tiba di desa Sawarna, kami langsung mencari penginapan Pak Hudaya yang sudah kami pesan semuanya. Apabila kita melakukan pencarian di google, banyak sekali yang merekomendasikan penginapan ini. Penginapan pak Hudaya ini diawali dari rumah penduduk yang disewakan, orang-orang menulis bahwa pak Hudaya suka bikin gitar, biola & banjo, namun begitu kami sampai di sana, ternyata, pak Hudaya sendiri sudah almarhum. Penginapannya (bernama Baraya) diteruskan oleh istrinya.

Di sini kita lihat betapa hebatnya pengaruh media internet terhadap bisnis Pak atau Bu Hudaya. Orang-orang yang menjelajah Sawarna ketika tempat wisata ini masih baru (tahun 2007 atau 2008) menuliskan ceritanya dan hingga kini masih menjadi pegangan karena itulah yang paling banyak direkomendasikan orang di internet. Padahal, saat ini sudah banyak penginapan baru, yang terlihat lebih menjanjikan, lokasinya lebih dekat pantai, ada yang di tengah-tengah sawah, rumahnya dibuat dari anyaman daun kelapa sehingga suasana lebih eksotis.

Bukan berarti kami menyesal menginap di Baraya, kami senang di Baraya, pelayanan bu Hudaya sangat baik. Harganya pun menurut saya sangat terjangkau. Rp 75.000 per orang per malam, sudah termasuk tiga kali makan. Kami sering minta kopi dan ternyata hal itu sama sekali tidak di-charge. Meskipun terletak di desa dan berawal dari rumah penduduk, bu Hudaya sudah cukup berpengalaman dan dapat membaca selera dan kebutuhan orang kota. Misalnya hal-hal yang esensial seperti tersedianya tissue, tong sampah, kamar yang bersih, dan terutama kamar mandi yang bersih.

Setelah "check in" kami masih leyeh-leyeh dulu di penginapan. Dari tempat kami terlihat menjelang pukul 12.00 dan 13.00 mobil-mobil mulai berdatangan. Tidak sedikit bule-bule yang membawa papan surfing. Yup, untuk kamu yang hobi surfing, di sini memang ombaknya tinggi-tinggi dan bagus. Tampaknya orang-orang ini baru berangkat dari Jakarta jam 5 atau 6 sehingga tiba pukul 12 atau 13. Karena capek, kami nyantai-nyantai dulu minum kopi sambil mengobrol.

Tidak lama kemudian makan siang sudah tersedia. Semua makanan dimasak dengan kayu bakar di dapur di belakang rumah. Menjelang jam 12 kami sudah dapat mengendus bau masakan yang membuat kami kelaparan dan memutuskan untuk makan dulu sebelum melanjutkan aktivitas. Sekitar pukul 12.30 makanan sudah terhidang di depan kamar kami. Hidangan sederhana terdiri dari ikan tongkol goreng, sop ayam, lalapan genjer, dan terutama... sambel ulek yang mantappppp abissss... Bagi saya yang juga istimewa adalah nasi yang ditanak dari beras tumbuk, atau beras yang diproses secara tradisional (alias ditumbuk) bukan diproses dengan mesin seperti beras yang biasa kita makan. Jangan kawatir apabila melihat nasi terlihat agak kekuningan dan terkesan kotor, karena memang begitulah beras tumbuk. Rasanya enak sekali, dan katanya seratnya lebih tinggi karena diproses secara tradisional. Beras yang kami makan adalah hasil dari sawah bu Hudaya sendiri yang terletak persis di sebelah penginapan kami. Ohh... eksotis sekali, bukan?

Setelah makan dan beristirahat, kami pun memulai perjalanan ke Pantai Ciantir yang dilanjutkan ke Tanjung Layar. Karena lagi pada malas untuk berkotor-kotor, kami memutuskan untuk skip caving. :D Untuk mencapai pantai ini kita harus melalui sebuah jembatan gantung yang cukup mendebarkan, lalu masuk ke pedesaan dengan suasana yang terjaga keasliannya. Dari pukul 14.00 hingga datangnya sunset (sekitar pukul 17.30) kami bermain saja di pantai, berjalan, foto-foto, main air, dan menikmati pemandangan.

Pukul 18.30 setelah puas bermain, kami kembali ke penginapan. Pukul 19.00 ibu kami yang baik sudah menyediakan makan malam. Waw, betapa nikmatnya... Kali ini kami dijamu dengan ayam cabe, bakwan jagung, tempe orek, dan tentu saja tidak ketinggalan, sambel yang sama. Saking terpesonanya, kami sampai menanyakan pada bu Hudaya resep membuat sambel eksotis tersebut. Dan saking terpesonanya salah seorang dari kami melahap sambel ini hingga lupa diri, akibatnya semalaman dia sakit perut dan mondar-mandir ke toilet. Moral cerita: jangan maruk, harus bisa menahan diri meskipun sesuatu sangat lezat hahaha...

Keesokan paginya teman kami yang malang ini masih juga sakit perut. Karena itu kami agak terlambat memulai perjalanan pagi ini. Boro-boro mau melihat sun rise, kami baru berangkat pukul 09.30 ketika orang-orang sudah kembali ke penginapan. Hehehe tak apa, beginilah enaknya kalau kita melakukan trip sendiri, mau berangkat jam berapa pun terserah kita. Tadinya ada rencana untuk caving apabila masih sempat, tetapi tampaknya sudah tidak ada waktu lagi. Kami menjadwalkan pukul 12.00 jalan dari Sawarna agar bisa tiba di Jakarta tidak terlalu malam.

Pagi itu trip Sawarna kami diisi dengan perjalanan ke Lagoon Pari, sebuah pantai tersembunyi yang lautnya sangat biru. Kami bersantai di sini sambil minum kelapa muda. Seperti biasa acara foto-foto dengan berbagai gaya, dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.00. Sepertinya kami sudah harus segera jalan. Maka kami pun kembali ke penginapan, bersiap-siap, dan dengan berat hati mengucapkan selamat tinggal kepada desa Sawarna yang permai. Entah kapan kami akan kembali lagi ke sini.

Meskipun terkesan singkat, trip ini cukup fun, refreshing, dan cheap! seperti saya bilang tadi. Total biaya yang saya habiskan untuk semuanya Rp 225.000, sudah termasuk penginapan, makan, bensin, dan jajan di sana. Bayangkan betapa mudahnya kita menghabiskan uang 225.000 di mal-mal di Jakarta... Kami menggunakan Kijang Inova pinjaman dari kantor salah seorang teman, dua kali isi bensin masing-masing Rp 180.000. Dibagi 5 orang peserta. Pulangnya kami memilih lewat Pelabuhan Ratu untuk menghindari jalan jelek di Malingping. Rute ini lebih jauh sih, dan juga karena harus lewat Ciawi (jalur Puncak) maka akan terkena kemacetan akhir pekan. Namun worth it karena jalan lebih bagus serta pemandangan juga lumayan. Kami baru tiba di Jakarta menjelang tengah malam.

Bagaimana? Cukup menarik untuk dicoba bukan?

Comments

  1. Fakhri11:42 AM

    Widih jd jg ceritanya mba, sawarna..oh sawarna..foto2 kurang mba.

    ReplyDelete
  2. wawww....keren dah, coba bisa ikutan ya, nambah deh port folio gw. tp cerita asyikmu ini bakalan diterusin dah, alias napak tilas hehe. pokoknya suatu masa pasti ku ke sana....ini kan Indonesia Tercintaku.....!!!

    ReplyDelete
  3. @fakhri iya, mau jalan sama tim virtual gak jadi-jadi nih.. foto cukup satu aja, biar ada sisa buat imajinasi... heheheh *alesan.

    @mbak Erna... kapan nih jalan lagi? See you on next trip ya...

    ReplyDelete
  4. "...bagaikan DiCaprio menemukan The Beach" .. astaga Mei....hihihihi... kayaknya more than words can say ya... Baru tau ada nama itu di Indonesia tanah air beta.. cool!

    ReplyDelete
  5. @ ardiningtiyas sebenarnya yang dijuluki "The Beach" Indonesia adalah pantai di Pulau Sempu (pernah gw tulis di blog ini juga)... Kapan2 gw ajak lo travel bareng kita2 ya pit ...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts