Susur Pantai Selatan September 2010 #1 (Pelabuhan Ratu - Pemeungpeuk - Cilacap - Nusakambangan)



Bersama Nissan Grand Livina kami telah menempuh jarak lebih dari 1.000 km, mulai dari Jakarta - Pelabuhan Ratu - Jampangkulon - Sindangbarang - Pameungpeuk - Cilacap dan kembali ke Jakarta lagi. Gimana ceritanya kok bisa ke tempat-tempat itu? Nah begini nih ceritanya... (karena ternyata jadinya cukup panjang, aku bagi-bagi menjadi beberapa postingan. Thanks for reading!)

Untuk mengisi libur Lebaran tahun ini kami telah membuat sebuah rencana overland dengan menyetir sendiri. Hal ini karena sepertinya itu satu-satunya pilihan buat kami mengingat semua transportasi umum pada waktu Lebaran harganya naik berlipat-lipat, dan itu pun harus dipesan jauh-jauh sebelumnya. Nah, dengan membawa kendaraan sendiri (saweran bersama beberapa teman), kita dapat tetap jalan meskipun dengan resiko bertemu dengan kepadatan jalan karena banyaknya pemudik.

Pertanyaan selanjutnya adalah, rutenya ke mana? Karena ada beberapa teman yang sedang berlibur di Pelabuhan Ratu, kami pun berencana untuk bergabung bersama mereka, mengingat Jakarta-Pelabuhan Ratu tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu macet. Setelah itu kami membuat rencana perjalanan kira-kira begini: Jakarta-Pelabuhan Ratu-Dieng-Cilacap-Jakarta dalam waktu 5 hari. (agak-agak terlalu ambisius sih, but let's try...) Rencana mampir ke Cilacap karena ada rumah seorang teman di sana sehingga kami dapat memperoleh penginapan gratis.

Kami berangkat hari Kamis (9 September 2010) pukul 05.30 pagi. Jam segitu jalanan sudah cukup ramai, sepertinya banyak pemudik yang memilih berangkat sehabis sahur. Antrian pun terjadi menjelang pintu tol Ciawi, sekitar 1,1 km. Setelah itu tidak ada kemacetan yang terlalu fatal, hanya macet setiap kali melewati pasar-pasar. Jam 11 kami sudah tiba di Pantai Karanghawu, Cisolok. Pantai ini sekitar 30 menit dari kota Palabuhan Ratu, kami memilih stay di pantai ini karena bisa menginap di hotel yang langsung menghadap pantai. Di Pelabuhan Ratu agak sulit mencari hotel seperti ini, kecuali hotel mahal. Kami stay di sebuah penginapan pinggir pantai dengan tarif 200.000 per kamar (1 kamar bertiga). Fasilitas AC tapi AC-nya berdengung sepanjang malam yang membuat aku tidak bisa tidur. Akhirnya aku malah mematikan AC itu dan tidur dibuai suara ombak pantai selatan yang sangat keras.





Hari itu adalah malam Lebaran, hari terakhir teman-teman Muslim berpuasa tahun ini. Hanya sedikit rumah makan yang buka di Pantai Karang Hawu, itupun tidak bisa makan di tempat, harus dimakan di rumah. Kami pun urung makan di restoran. Dengan diantar teman yang sudah dari kemarin di pantai ini, kami pun pergi ke pasar ikan, membeli ikan-ikan segar untuk dimasak sendiri. Seekor kakap merah dan beberapa tenggiri kecil serta cumi-cumi masuk kantong belanja kami. Untuk melengkapi santapan lezat siang hari itu kami juga mampir ke pasar membeli cabai, pete, bawang, dll.

Hari itu penginapan kami sangat sepi. Kami dapat menguasai daerah balkon di pinggir pantai untuk masak-masak dan makan di sana. Tidak ada pengunjung lain di sana, sehingga kami tidak perlu khawatir akan mengganggu orang yang sedang berpuasa. Menurut pemilik penginapan, besok (hari Idul Fitri) harga semua penginapan di daerah sana naik dua kali lipat. Pantai pun akan berubah menjadi lautan manusia. Pada saat kami di sana terlihat rangka-rangka tenda berjejer sepanjang pantai, mereka mempersiapkan warung-warung mie dan minuman ringan dadakan untuk melayani orang-orang yang berlibur di pantai pada saat Lebaran.

Teman-teman saya ini memang para traveler sejati. Perlengkapan mereka lengkap, mungkin kalau dilepas di hutan mereka tidak akan kelaparan hehehe. Kompor gas kecil, Hi-Cook, nesting, Happy Call (semacam wajan ajaib yang bisa dibolak-balik, cocok untuk memanggang ikan) pun dikeluarkan. Semua bekerja menurut kemampuan masing-masing. Ada yang membersihkan dan memotong cumi, ada yang memotong cabai, menyiapkan pete, dan membuat sambal. Singkat cerita, hidangan pun tersedia di atas tikar dan kami makan dengan lahapnya...

Setelah itu kami menghabiskan waktu dengan bersantai-santai di tepi pantai, membaca, mengobrol, main air, foto-foto. Pantai Karang Hawu dikenali dengan bentuk karangnya yang mirip tungku, dalam bahasa Sunda disebut "Hawu" itulah yang menjadi asal namanya. Langit mendung dan hujan gerimis ketika kami berjalan-jalan di pantai. Menjelang sore kami mempersiapkan makanan lagi. Yah begitulah nikmatnya liburan. Ngopi di pinggir pantai, membaca ditemani debur ombak, mengobrol dan bercanda santai, tidak ada yang perlu dicemaskan.

Pada malam hari kami mendiskusikan rute yang akan ditempuh besok. Pelabuhan Ratu terletak di pantai selatan Jawa Barat, sementara tujuan kami selanjutnya adalah Dieng, Wonosobo, yang terletak di tengah-tengah Jawa Tengah. Kami harus mengarah ke timur dan utara untuk sampai di sana. Nah, pilihannya, mau kembali ke Sukabumi dan lewat jalur mudik, atau menyusuri pantai selatan? Tentu saja pilihan kami jatuh pada yang kedua, karena timbul keinginan untuk mengeksplore jalan yang belum pernah kami lewati. Apalagi mengingat kalau ke Sukabumi berarti kami balik lagi, dan kemungkinan besar akan bertemu dengan arus mudik. Menurut informasi dari teman yang pernah menempuh jalur selatan dari arah Pangandaran, jalan di jalur selatan cukup bagus, bisa kami lewati. Sayangnya, ternyata teman kami ini menyusuri pantai Selatannya belum pernah sampai ke Pelabuhan Ratu (dari arah Pangandaran). Tetapi, dia dan kami pun percaya, jalannya cukup bagus untuk dilalui.

Keesokan paginya kami berangkat setelah sarapan. Karena jarak yang harus ditempuh begitu jauh, kami berangkat pukul 8 pagi. Kami melipir menyusuri pinggiran selatan Jawa Barat, dari Pelabuhan Ratu ke Jampangkulon, tidak ke Ujung Genteng tetapi ke Surade dan seterusnya ke Tegal Beleud. Jalanan pegunungan berkelok-kelok, pemandangan pedesaan serta perkebunan karet.

Hari ini adalah hari Raya Idul FItri. Sepanjang jalan terlihat suasana Lebaran, orang-orang mengenakan busana Muslim yang terlihat baru, rumah-rumah dikunjungi tamu berpakaian bagus, banyak yang naik motor membawa rantangan dan ketupat. Sekitar pukul 12 kami berhenti untuk makan siang, kami membawa bekal ikan bakar dan cumi goreng sisa semalam. Kami mampir di depan sebuah toko yang tutup di Tegal Beleud dan mulailah membuka perbekalan.

Hanya bermodalkan secarik peta mudik dari Jasa Marga kami menempuh perjalanan ini. Sepanjang jalan harus selalu mampir untuk bertanya, karena ini bukan rute yang banyak dilalui orang, bukan rute yang banyak petunjuk jalannya. Bila agak ragu kami selalu berhenti untuk bertanya, apakah benar ini arah ke Jampangkulon, dan seterusnya.

(bersambung)

Comments

Popular Posts