From train to train

Perjalanan dengan Kereta



Isn't it wonderful to be on the train ride again? Betapa menyenangkan, naik kereta lagi. Menikmati buaian angin yang terus-menerus diterjang badan kereta secara konstan. Mendengar suara desingan roda kereta yang berpacu keras pada rel. Suara deru nan abadi itu... suara yang begitu akrab dengan kita dulu.

Dari kaca jendela (yang kadang sudah tidak berkaca lagi itu) biasan kehidupan kota yang kita lalui bergerak cepat tertinggal di belakang kita. Dari stasiun ke stasiun kita dapat melihat orang-orang menawarkan jajanan khas perjalanan. Pop Mie, kopi, dan termos air panas.

Goyangan dan getaran yang akrab itu seharusnya membuat aku mengantuk dan tertidur. Tetapi aku tidak bisa tidur dalam perjalanan kereta 3 jam dari Cirebon ke Jakarta malam itu.

Asap rokok dan kipas angin yang persis di atasku membuat aku tidak bisa terlelap sama sekali padahal sudah lelah jalan-jalan seharian. Aku dikepung dari segala arah, 5 pria sekaligus yang bersebelahan dan yang duduk persis di depan dan belakangku, semua merokok tanpa belas kasihan. Aku sudah menutup hidung dan mulutku dengan sapu tangan, namun tak ada yang peduli.

Aku tidak berkutik. Tidak ada tanda dilarang merokok. Kereta pun tidak tertutup, kaca-kaca terbuka, mungkin itu adalah tanda yang dibaca sebagai "silakan merokok." Semua lelah dalam perjalanan ini, hidup semua orang berat. Tidak ada yang peduli pada seorang perempuan yang terganggu dengan asap rokok yang tiada henti.

Sementara, di sebelahku, temanku tertidur dengan pulasnya. Dia sudah sangat lelah dalam perjalanan ini, dan tempat duduknya di kereta membuatnya relatif lebih terlindungi dari kedua musuh terdekatku: asap rokok dan kipas angin. Karena temanku tertidur pulas, aku tidak mungkin pindah tempat duduk dan meninggalkannya sendiri. Jadilah aku stuck dengan penderitaan itu.

Terbayanglah olehku gerbong sebelah, gerbong yang tadi kita lewati ketika naik ke kereta ini. Gerbong itu adalah gerbong kelas eksekutif. Aku baru tahu saat itu bahwa antara kelas eksekutif dan kelas bisnis kereta Cirebon Ekspress yang selisih harganya Rp 15.000 itu terdapat perbedaan yang bagaikan bumi dan langit. (Eksekutif 75.000 Bisnis Rp 60.000)

Kami mencatat setidaknya lima perbedaan berikut ini: 1. AC vs kipas angin. 2. tempat duduk yang jauh bedanya, lebih empuk dan bersih, juga lebih luas dan bisa direbahkan. 3. ada bantal. 4. ada colokan listrik! (buat yang mau charge HP atau notebook) dan 5. ada ruang tunggu khusus buat penumpang eksekutif di stasiun kereta.

Betapa jauh bedanya ya? Kalau tahu begini sudah pasti memilih merogoh kocek dan menambahkan selisih 15.000. Tetapi kalau sedang beruntung sebenarnya kelas bisnis tidak begitu buruk. Seperti pada saat pagi harinya ketika kami berangkat dari Jakarta ke Cirebon.

Malah perjalanan 3 jam itu sangat menyenangkan. Di pagi hari tidak ada yang merokok. Kami bisa mengobrol santai sambil ngopi dan menikmati pemandangan desa dari jendela, saling meng-update kabar masing-masing selama ini. Tidak terasa, kita pun sampai di Cirebon.

Sebaliknya, dalam perjalanan pulang, terasa sangat lama. Di tengah penderitaanku itulah aku teringat pada perjalanan-perjalanan dengan kereta yang pernah aku lakukan.

Yang paling heroik dan tidak terlupakan tentu saja adalah perjalanan kereta 32 jam dari Hanoi ke Ho Chi Minh City. Karena jarak tempuh yang panjang, tempat duduk dalam kereta ini berbentuk kompartemen berisi enam tempat tidur yang disusun tiga tingkat-tiga tingkat.

Pada tahun 2003 pertama kalinya aku naik kereta sleeper (kereta dengan tempat tidur), yaitu kereta dari Bangkok ke Chiang Mai (sekitar 12 jam). Selama di tanah air tidak pernah melihat tempat "duduk" di kereta seperti itu. Maka ketika naik kereta kami sangat terpesona dan merasa lucu. Untuk yang posisi upper tidak ada pilihan untuk melipat tempat tidur menjadi tempat duduk/kursi. Jadi selama perjalanan kita stuck aja dalam posisi berbaring, atau paling-paling duduk tetapi langit-langitnya sangat rendah, pas di kepala kalau kita duduk. Bisa dilihat gambar lengkapnya di sini.



Ceritanya waktu itu kami kehabisan tiket lower. Kami juga heran kenapa semua orang membeli tiket lower dan lebih jarang yang mau upper. Setelah naik kereta barulah paham alasannya.

Yang lower bisa diatur menurut kehendak kita, kalau mau duduk, tempat duduknya bisa menjadi kursi, kalau mau tidur, tinggal diubah menjadi kasur. Seorang mbak yang gesit akan membantu kita mengubah kursi menjadi kasur dalam waktu singkat, begitu pula sebaliknya. Namun, untuk tiket upper tidak ada pilihan itu. Begitu naik, mbak yang baik itu akan mempersiapkan kasur kita seolah begitu naik kereta kita sudah cuci kaki dan sikat gigi dan siap tidur. Pengalaman yang lucu juga bila dikenang.

Kereta paling cantik tentu saja adalah kereta panoramic Golden Pass yang membawaku dari Montreaux ke Lucern (Switzerland). Karena ini adalah kereta panoramic atau kereta yang memang dirancang untuk menikmati pemandangan, maka jendelanya besar-besar. Tempat duduknya nyaman dan jalannya lebih perlahan. Mantapp dah...

Beruntung aku juga sudah pernah mencoba kereta supercepat waktu di Korea dan di Taiwan. Kereta dengan kecepatan hampir 300 km/jam ini luar biasa. Duduk di atasnya tidak terasa apa-apa namun begitu melihat ke jendela barulah terasa kecepatannya. Wonderful...

Memikirkan kereta-kereta ini membantuku tidak fokus pada penderitaan kecil yang sedang aku alami. Asap rokok dan semuanya pun terlupakan ketika pikiranku melayang ke mana-mana.

Kali ini mari kita ke Italia. Kereta Tren Italia sebenarnya hampir sama dengan kereta-kereta Argo kita. Mungkin karena perawatannya jadi terlihat lebih mewah
dan bersih. Prosedurnya pun hampir sama. Kita membeli tiket, tiket diperiksa di depan, lalu kita masuk dan mencari kereta kita di peron yang mana, kita naik kereta, lalu di tengah perjalanan kemudian baru ada pemeriksaan tiket di dalam kereta. Tiket tidak diperiksa pada saat naik ke kereta tertentu. Sepertinya hal ini berlaku di mana-mana, sehingga penumpang seringkali ragu-ragu apakah benar kereta yang dinaikinya karena pada saat naik kereta tidak ada petugas.

Ketika bapak-bapak yang mengenakan setelan jas rapi dan bertopi datang meminta tiket aku pun teringat ketika naik Tren Italia dan dibangunkan oleh petugas tampan pemeriksa tiket. Setelannya hampir sama, hanya berbeda dalam level ketampanannya saja.

Pikiranku melanglang buana lagi. Kembali ke KRL Jabotabek tercinta. Mirip dengan kereta commuter yang dulu sering aku naiki dari Taipei ke Taoyuan. Apabila sedang sepi dan melesat di atas daerah perkotaan, naik KRL Jabotabek itu serasa naik MRT di negara-negara maju.

Akhirnya, tidak terasa, pemandangan dari jendela menampakkan sebuah stasiun yang sangat familiar, yang dulu setiap hari kulewati. Stasiun Manggarai pukul 23.00 menampilkan wajah yang berbeda. Tidak pernah aku melihat wajah seperti ini.

Stasiun sudah gelap dan tenda-tenda jualan telah dibereskan. Tidak terlihat adanya calon penumpang lagi. Namun yang sangat mencolok mata adalah adanya bungkusan-bungkusan berjejeran di lantai. Tampak jelas bahwa itu adalah orang-orang yang tidur di sana dan membungkus dirinya rapat-rapat bagaikan mumi. Udara malam pastilah dingin sekali di "hotel" alam terbuka itu. Ternyata beginilah wajah stasiun Manggarai di atas pukul 23.00.

Itulah perjalanan Cirebon Ekspress dari Cirebon ke Jakarta yang membawaku dari kereta ke kereta di berbagai tempat di dunia, hingga mendarat lagi di stasiun Gambir, Jakarta. Betapa menyenangkan, naik kereta lagi.

Comments

Popular Posts