Wisata Cirebon (2)





Karena kami tidak menginap, maka kami hanya tertarik menjelajah tempat-tempat wisata yang jaraknya tidak terlalu jauh dari stasiun kereta, tepatnya yang bisa ditempuh dengan naik becak.

Yang sempat kami kunjungi dalam waktu yang singkat dengan informasi yang minim adalah Keraton Kasepuhan dan Gua Sunyaragi. Sisa waktu digunakan untuk berbelanja oleh-oleh di sekitar PGC (Pusat Grosir Cirebon) yang letaknya tidak jauh dari Stasiun Kejaksan Cirebon.

Kami tiba di Cirebon pukul 09.00 pagi di sebuah Sabtu bulan Januari. (Mengenai perjalanan di kereta akan aku ceritakan dalam tulisan yang lain). Begitu tiba di Cirebon, barulah saya dan sahabat saya sadar bahwa kita sama-sama tidak punya plan dan tidak tahu tentang Cirebon.

Perjalanan ini terjadi sangat mendadak, dan kami ternyata saling mengandalkan untuk mencari informasi. Begitu tiba di Cirebon barulah sadar kita belum tahu mau ke mana. Bahkan ketika keluar dari stasiun dan ditawari becak-becak, kita belum tahu mau ke mana!!! (keterlaluan sekali, jangan dicontoh)

Daripada terlihat bodoh (awas, kalau ketahuan turis tidak berpengalaman kita bisa dimahalin) maka dengan cepat aku menyebut “keraton Kasepuhan” kepada si tukang becak yang mengikuti kami terus dari stasiun. Hati-hati, di sini tukang becak rada-rada maksa.

Untunglah sebelum keluar ke dunia praktik, kami sempat mencari sedikit informasi, seperti itenerary wisata Cirebon, tarif becak, dan keterangan bahwa di antara keempat keraton itu yang paling besar dan paling bagus adalah keraton Kasepuhan.

Dari stasiun kami menuju keraton Kasepuhan dengan becak sekitar 15 menit (Rp 15.000). Satu becak bisa berdua, meski agak sempit-sempitan.

Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506.

Menurut Wikipedia, keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Keraton ini juga memiliki museum benda-benda kuno yang cukup lengkap. Salah satu koleksi yang terkenal adalah Kereta Singa Barong. Kereta keramat ini saat ini tidak lagi dipergunakan tetapi hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal saja untuk dimandikan.

Ketika tiba di sana, kami tidak langsung masuk karena kebetulan saya belum sarapan. Maka kami pun mencari warung di sekitar keraton dan menemukan sebuah warung lesehan yang cukup eksotis yang menjual sega (nasi) Lengko.

Di warung inilah kami memanfaatkan kesempatan untuk membuat itenerary (jadwal perjalanan) sambil mencari informasi dari ibu pemilik warung. Setelah puas bersantai dan ngupi-ngupi, barulah kami masuk ke keraton.

Tiket masuk keraton per orang Rp 4.000. Kami terkejut ketika selesai membayar tiket masuk dan mengisi buku tamu, kami dipersilakan untuk diantar oleh seorang guide berpakaian abdi keraton oleh petugas tiket seolah itu adalah sebuah keharusan. Meski tidak merasa perlu, kami membiarkan saja sambil berpikir paling-paling nanti dikasih tips sekedarnya.

Ternyata setelah selesai berkeliling keraton, bapak guide mengenakan tarif untuk jasanya, yaitu Rp 30.000 sampai 60.000. Katanya memang di sini begitu, alias harus pakai guide dan minimal segitu. Akhirnya kami memberi yang paling minimal, karena merasa tidak memesan.

Meski keterangan bapak guide lebih sering tidak aku dengarkan---karena selain sibuk memotret juga karena dia berbicara dengan pronounciation yang tidak jelas bagaikan pembaca pengumuman yang tidak niat menjalankan tugasnya---keterangan itu ada gunanya juga.

Minimal dia mengarahkan kami melihat hal-hal yang kalau tidak tidak akan kami perhatikan. Ketika memasuki keraton terlihat ornamen-ornamen arsitektur bergaya Islam, Cina, maupun Belanda. Dia juga menunjukkan benda-benda kuno peninggalan yang menarik seperti keramik-keramik Cina, baju perang dari besi, dan sisa-sisa senjata perang jaman dahulu, seperti meriam Portugis, Meriam Cina, tombak, badik, dll.

Sesuai dengan apa yang tertulis di Wikipedia, memang cukup lengkap koleksi museum. Namun apabila seperti ini disebut paling terawat, bisa dibayangkan seperti apa di keraton-keraton yang lain di Cirebon karena yang paling terawat saja seperti ini?

Koleksi-koleksi museum sangat berdebu. Dan yang paling mengganggu mata adalah adanya uang-uang kertas dan koin yang berserakan di sisi-sisi depan tempat display koleksi. Kami sempat bingung apa yang dimaksud dengan uang-uang tersebut, lalu ada orang-orang (sepertinya cacat) yang berdiri-berdiri dekat koleksi dan menunjuk-nunjuk ke arah uang tersebut. Maksudnya: minta sumbangan.

Di keraton dan museum ada orang-orang yang dipekerjakan di sana (sepertinya orang-orang yang mempunyai cacat fisik atau kekurangan lain) yang tidak digaji dan karena itu mengandalkan sumbangan dari pengunjung keraton dan museum. Keberadaan orang-orang ini dan uang-uang yang “menghiasi” koleksi-koleksi museum menurut saya cukup mengganggu.

Apalagi setelah melihat koleksi museum yang berdebu amat tebal, rasa tidak simpati pun muncul. Mungkin pemerintah setempat hendak membantu orang-orang yang kurang beruntung ini, tetapi apakah tidak ada cara lain? Kehadiran mereka tentu menimbulkan ketidaknyamanan pengunjung, apalagi ada yang dengan agak memaksa meminta sumbangan.

(bersambung)

Comments

Popular Posts