Amazing Bromo - Ranu Kumbolo Trip




Perasaan terbaik adalah pada hari Senin sehabis trip, ketika mengemudi untuk masuk kembali ke kehidupan yang biasa. Badan masih terasa rontok, setiap otot masih menjerit karena overused, betis kencang sehingga cenderung sakit atau berjalan agak pincang sebagai solusinya, tetapi hati bahagia.

Pikiran terasa segar, refreshed, cenderung blank dan masih perlu adaptasi dengan keseharian yang baru saja ditinggalkan beberapa hari, nafsu makan yang sangat sehat untuk mengisi raga yang habis dipaksa bekerja berlebihan, dan mata baru yang melihat warna-warni ketika memandang dunia sehari-hari yang membosankan.

Itulah yang bisa didapat dari sebuah trip yang sukses. Saya menyebut masuk dalam kategori Trip Rate A adalah trip yang memiliki hampir semua elemen berikut: melelahkan tapi puas, awalnya cemas tapi kemudian berhasil menundukkan tantangan, ada unsur adventure, pemandangan alam yang amazing, ada unsur novelty/surprise karena tidak punya gambaran sebelumnya tentang apa yang akan dihadapi, dan suasana travel yang fun (dengan teman-teman yang asyik). Dengan semua elemen di atas, maka bila ada sedikit hal negatif dia akan tereduksi menjadi minor.

It was just over the weekend dan kami berencana untuk mengunjungi Gunung Bromo dan danau Ranu Kumbolo di Gunung Semeru. Perjalanan kami dimulai hari Jumat malam dengan pesawat terakhir (20.45) Jakarta-Surabaya, dan pulang hari Minggu malam dengan pesawat kedua terakhir dari Surabaya ke Jakarta (19.40). Kami dijemput seorang teman di bandara Juanda menggunakan jeep Land Cruiser/Hardtop yang langsung siap untuk perjalanan di daerah taman nasional Bromo dan Semeru.

Perjalanan kami lengkap dimulai dari road trip Surabaya-Bromo lewat Probolinggo dan ditutup dengan road trip Bromo-Surabaya lewat Malang. Di tengah-tengahnya adalah Sunrise view di Bukit Penanjakan Bromo yang dipenuhi turis-turis lokal maupun mancanegara, drive dari Bromo sampai Ranu Pane menyusuri keindahan pasir dan bukit-bukit tandus, dan trekking dari Ranu Pane ke Ranu Kumbolo pp.

Dengan jadwal seperti itu, maka tidak tersisa waktu untuk tidur pada malam pertama. Dari Surabaya hingga Bromo, menembus tengah malam, melewati pergantian hari di sebuah warung kecil di Pasuruan tempat kami mengembungkan perut dengan Indomie. Ketika tiba di Penanjakan (setelah tanya sana-sini) sudah sekitar pukul 03.00 pagi. Sebentar lagi tempat ini akan dipenuhi turis. Kami mampir di sebuah warung untuk minum teh dan menghangatkan badan. Di atas gunung dengan ketinggian di atas 2.000 mdpl pukul 3 pagi, semua yang sudah berbalut jaket tebal pun masih merasa kedinginan.

Sekitar pukul 04 orang-orang mulai naik ke view point bukit Penanjakan, mencari spot-spot terbaik untuk melihat pemandangan sunrise Gunung Bromo. Padahal dalam kegelapan, masih tak terlihat apa-apa. Hanya yang sudah tahu memberikan informasi, sunrise akan muncul di sebelah kiri, tapi pemandangan gunung Bromo-nya di sebelah kanan. Spot sebelah kiri sudah penuh dengan turis, karena itu kami memilih di sebelah kanan.

Bromo - Ranu Pane

Sekitar pukul 06.00 semuanya berakhir. Kerumunan turis satu per satu meninggalkan tempat, menyerbu warung-warung di bawah mencari sarapan. Kami kembali ke warung teh tadi dan mengisi perut ala kadarnya dengan pisang goreng.

Perjalanan dilanjutkan dengan jeep menuruni bukit Penanjakan, melewati padang pasir yang luas (di sinilah saya mencoba mengemudikan Hardtop tahun 1982 itu) sambil memandang pemandangan amazing di kiri-kanan, hingga mobil mulai menaiki bukit. Kelokan-kelokan petruk (patah) sambil menanjak membuatku ngeri, saat itulah saya mengembalikan kemudi kepada empunya.

Kami tiba di Ranu Pane sekitar pukul 10 pagi. Ranu Pane nama sebuah danau yang indah dan desa yang terletak di sekitarnya. Desa ini sangat hijau dipenuhi perkebunan sayur yang mencetak kotak-kotak di atas tanah berbukit menghasilkan pemandangan landscape yang indah dan permai. Di desa inilah pendakian gunung Semeru dimulai. Di desa inilah para pendaki harus mendaftarkan diri dan minta izin pendakian, termasuk kami (walaupun kami hanya sampai di Ranu Kumbolo). Dan di sinilah masalah bermula.

Setiba di Ranu Pane, kami langsung mencari warung yang menyediakan nasi. Perut yang kembung, masuk angin karena tidak tidur, membuat tak ada yang lain yang bisa memuaskan kecuali nasi. Duduklah kami di sebuah warung sederhana (satu-satunya sejauh mata memandang) dan memesan nasi rawon.

Rencananya di Ranu Pane ini kami akan melakukan segalanya untuk persiapan: makan, bersih-bersih (karena tidak akan ada lagi kamar mandi di gunung), registrasi/minta ijin pendakian, mempersiapkan bekal untuk di atas (rencananya kami akan kemping karena tidak ada penginapan di Ranu Kumbolo), dan mencari porter untuk membantu membawa perlengkapan camping (maklum, manula).

Terkejutlah kami ketika di pos registrasi karena ternyata kami tidak mendapat ijin pendakian, karena tidak membawa surat dokter. Barulah kami mengetahui bahwa untuk pendakian ke Semeru dipersyaratkan sebuah surat yang ditandatangani seorang dokter yang menyatakan bahwa kita dalam keadaan sehat. Terjadilah adu argumentasi yang seru pada saat itu karena kami tidak mau menyerah begitu saja, dan balik lagi setelah sudah sampai sejauh ini. Kabarnya, banyak yang balik lagi karena tidak membawa surat tersebut. Mungkin karena sudah banyak jatuh korban (salah satunya Soe Hok Gie meninggal di Semeru) petugas tidak mau bertanggung jawab apabila ada masalah kesehatan pada pendaki. Meskipun kami hanya sampai di Ranu Kumbolo (tidak sampai puncak Semeru) tetap saja surat itu diperlukan.

Saya hampir menyerah ketika itu, karena peraturan adalah peraturan. Kita harus menghormati peraturan tersebut walaupun kami tidak mendapat informasi tentang itu sebelumnya. Tetapi mungkin memang perjalanan ini direstui oleh YME saat seorang petugas senior datang. Petugas tersebut akhirnya memberikan satu solusi, yaitu kami menandatangani sebuah surat yang menyatakan bahwa kami tidak membawa surat dokter dan apabila terjadi sesuatu kami sepenuhnya bertanggung jawab. Surat tersebut disertai fotokopi KTP kami masing-masing. (Tapi hal ini jangan ditiru ya.. sebaiknya mempersiapkan surat dokter sesuai dengan peraturan karena setiap pendaki Semeru saat ini membawa surat dokter).

Ranu Pane - Ranu Kumbolo


Kami memulai trekking sekitar pukul 12.00, saat matahari tepat berada di atas kepala. Namun udara pegunungan tetap saja sejuk cenderung dingin. Air di kamar mandi Ranu Pane dinginnya bagaikan es. Perjalanan sekitar 13 km jauhnya, yang cepat bisa menempuh dalam 3 jam, bagi kami sekitar 4-5 jam.

Pemandangan selama trekking sangat indah. Diawali perkebunan desa, semakin naik mendekati puncak Semeru. Puncak Semeru (Mahameru) yang gagah dengan gelambir-gelambir kecoklatan itu mengintip dari kejauhan lalu tampak semakin dekat. Di sisi kiri kita dapat melihat lautan awan yang berkilauan di atas negeri yang indah di bawahnya. Matahari yang terik membiaskan sinar keemasan dari balik awan.

Sambil mendaki, sambil memotret pemandangan, itulah trik untuk beristirahat dan tarik napas. Ada kalanya jalan menanjak terus sehingga membuat jantung berdetak sangat cepat dan napas terengah-engah. Ketika turun keesokan harinya kami mengambil rute yang lain, yang menurut saya lebih indah pemandangannya. Sayangnya saya tidak ingat nama-nama rute dan tempat-tempat yang dilalui pada trekking.

Setelah berjalan 4 jam akhirnya kami dapat melihat danau Ranu Kumbolo yang indah itu. Danau yang biru permai dikelilingi bukit-bukit hijau. Langsung kami pun berhenti untuk photo session dulu. Dari sana masih berjalan sekitar 1 jam menyusuri savanah hingga tiba di tempat camping. Beruntunglah saya karena di sana terdapat sebuah rumah/bangsal. Yang penting dapat menahan angin dan kita tidak perlu mendirikan tenda. Udara sangat dingin di Ranu Kumbolo, saya beryukur ada rumah itu karena sempat ngeri bagaimana bisa tidur di tenda di tengah udara sedingin itu.

Di dalam rumah itu terdapat dua sisi dipan panjang tempat hampir semua pendaki menginap. Kami bertemu beberapa rombongan lain, sebagian besar anak-anak muda, Mapala dari perguruan tinggi. Syukurlah kami datang cepat, kalau tidak, rumah ini sudah penuh. Kapasitas sekitar 15-20 orang, tidur berjejeran di atas dipan. Yah, jauh lebih baik daripada di luar, angin kencang dan udara dingin. Ada rombongan yang terpaksa mendirikan beberapa tenda.

Namun mereka semua adalah anak-anak muda yang gagah perkasa. Terpesona saya melihat ada yang mandi di danau yang begitu dingin pada keesokan harinya. Mereka juga tinggal di Ranu Kumbolo selama beberapa hari. Aku teringat ketika masih seusia mereka, ya pantas aku tidak akan pernah diterima masuk Mapala dengan kondisi fisik seperti ini. Lihatlah mereka semua kuat-kuat menghadapi cuaca dingin maupun pendakian. Mereka semua akan lanjut ke Semeru ataupun dalam perjalanan turun. Hanya kami pelancong, petualang nanggung yang hanya sampai Ranu Kumbolo.

Saya pun bersyukur ketika malam cepat berlalu, setelah makan malam nasi Rawon yang dibungkus dari Ranu Pane, kami pun meringkuk dalam sleeping bag masing-masing dan berpamitan pada hari itu.

Ranu Kumbolo – Ranu Pane – Ngadas – Malang

Hari Minggu pagi, badan terasa lebih fit setelah dikasih tidur. Walaupun tidur tak bisa dibilang nyenyak (di atas dipan kayu yang keras, kedinginan, berisik karena rombongan lain mengobrol, dan walaupun lelah ternyata tak mudah tidur), tapi lumayan untuk memberi tenaga baru. Pukul 08 pagi setelah sarapan (nasi yang kemarin lagi + Abon) kami pun trekking lagi dengan jalur berbeda. Jarak tempuh hampir sama, sekitar 4-5 jam. Rute ini lebih ekstrem yaitu awal perjalanan sekitar 1-2 jam pertama nanjak terus, lalu sisanya turun terus. Tapi pemandangannya amazing. Dan perasaannya amazing, setelah berhasil melalui semuanya. Bagi orang lain mungkin biasa saja, tapi bagi saya, amazing.

Tiba di Ranu Pane perasaan puas itu tak dapat kami sembunyikan. Kami bahkan mendatangi pos registrasi untuk mengabarkan bahwa kami telah pulang dengan selamat. Di Ranu Pane pula kami segera membersihkan diri (mandi). Tubuh mengeluarkan asap ketika terkena air yang sedingin es itu. Luar biasa. Salah satu teman kami bahkan salah satu jarinya membeku dan memucat putih, aliran darah berhenti mengalir ke jari itu karena dingin. Setelah dianget-angetin dengan teh dan dijemur, jari tersebut berangsur normal.

Sekitar pukul 13.00 kami meninggalkan Ranu Pane. Tak bisa berlama-lama karena hendak mengejar flight kami dari Surabaya jam 19.40. Khawatir macet di Porong dekat Lumpur Lapindo itu. Dari Ranu Pane kami akan menuju Malang, menempuh rute yang berbeda dengan saat berangkat. Setelah melewati desa Ngadas yang eksotik dan menjelang kota Malang, kami melewati sebuah desa yang sangat eksotis di mana hampir semua rumah menanam apel di depan rumah. Apel menjuntai-juntai di pohon depan rumah dan tak ada yang mengambil. Di sinilah kami membeli sedikit buah tangan berupa apel Malang.

Tiba di Sidoardjo tepat pada waktunya, masih sempat lagi menikmati Rujak Cingur yang menjadi khas di sini sebelum lanjut ke bandara Juanda. Banyak yang menyangsikan, bahkan saya sendiri mengkhawatirkan, apakah kami mampu, melakukan trip ini sesuai rencana, sesuai jadwal (yang padat) dan juga meragukan stamina untuk trekking. Ternyata semuanya telah berlalu dengan baik, dan itulah salah satu hal yang membuat trip ini terasa, amazing.

Comments

  1. Anonymous3:28 PM

    nice trip friend

    ReplyDelete
  2. kereeeeennnn! ah anda ternyata menghilang traveling ya ibu, hahahaha.. Duh need it so bad deh :s

    ReplyDelete
  3. Yup.. pergilah yang jauh ke gunung-gunung yang dingin dan pantai-pantai yang biru...

    *ah, gw kan gak menghilang, it was just over the weekend.

    ReplyDelete
  4. keren bangett ceritanya mbak, salam kenal, ceritanya asik2, jadi pingin ke semeru lagi :D

    ReplyDelete
  5. salam kenal Oen-oen.. iya.. it was amazing..

    ReplyDelete
  6. wah ceritanya seru nie jadi saya sebagai pengelola wajib nih ikut serta dalam perjalanan wisata yang begitu menarik,lagian juga sudah lma gk menikmati suasana di luar...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts