Pergilah
ke tempat yang jauh
Ke gunung-gunung
karang yang tersembunyi
Ke
pantai-pantai yang dihempas ombak tinggi
Sunyi
manusia, hanya aku dan samudera
(foto1 : Pose bersama ombak Samudera Hindia)
Walaupun judulnya susur pantai selatan, Road Trip kali
ini malah dimulai dari pantai utara, tepatnya di kota Semarang. Dari Semarang
mengarah ke selatan hingga pantai Drini di Gunung Kidul, membelah pulau Jawa
dari atas ke bawah. Dari sana perjalanan baru dilanjutkan menyusuri pantai
selatan pulau Jawa hingga Jawa Timur (Pacitan).
Serunya Road Trip memang tidak terbilang. Sepanjang jalan
kita bisa menikmati pemandangan alam dan pedesaan. Sesuka hati kita bisa
berhenti di tempat mana yang menarik. Dan tak jarang, perjalanan seperti ini
memberikan bonus kejutan yang tak terduga, seperti menemukan suatu surga
tersembunyi, pantai perawan yang tidak terekspose, keindahan yang terjaga
kemurniannya.
Kami dijemput Jeep yang sama seperti yang membawa kami
melintasi Taman Nasional Gunung Bromo – Semeru beberapa waktu yang lalu, si Ijo
yang tangguh, yang anak gaul karena tergolong Gen Y (lahir tahun 80-an), di
suatu tempat di kota Salatiga bernama Pasar Sapi (tips: di sini gak ada
sapinya).
Dari Semarang menuju Salatiga petualangan dimulai, kami
menumpang bus Taruna jurusan Semarang – Solo yang bertarif Rp 10.000 per orang.
Rasanya seperti dalam salah satu show Ultimate Traveller atau reality show race
travelling serupa. Libur long weekend menyesaki bus antar kota ini dengan orang-orang
yang bepergian dengan barang yang banyak. Termasuk kami yang gendut karena
ransel-ransel besar. Tidak ada sisa tempat duduk lagi, dan walau judulnya Patas
AC, untuk merasakan hembusan AC dibutuhkan kepekaan super duper tinggi.
Setelah bertemu Jeep barulah Road Trip dimulai. Karena,
menurut definisi National Geographic Traveler, Road Trip bukanlah perjalanan
yang membawa kita dari titik A ke titik B. Road trip bersifat lebih leluasa
dalam waktu dan tempat yang akan kita singgahi. Walaupun sudah memiliki
beberapa titik tujuan, namun hal itu bisa berubah dalam perjalanan, pun kita
sangat terbuka untuk menerima kejutan.
Dalam perjalanan kali ini, dari Salatiga kami menuju
Magelang dan menginap di dekat Candi Borobudur. Sebelum tiba di sini sempat mampir
ke sebuah tempat wisata bernama Ketep Pass dan merasakan udara sejuk pegunungan
di sana.
Hari
Kedua
(foto 2 : Si Ijo yang menemani kami sepanjang perjalanan
ini)
Hari kedua dimulai di Punthuk Setumbu, sebuah bukit
tempat mendapatkan view Borobodur dari kejauhan, di mana cahaya matahari yang
baru terbit akan menghasilkan pemandangan sunrise
yang superb pada candi Budha itu. Keagungan stupa candi di bawah naungan kilau
langit emas, di atas kabut yang berlapis-lapis, awan yang mencoba menahan sinar
matahari namun derai-derai cahaya ini selalu berhasil lepas.
Pemandangan sunrise
yang tiada taranya, kalau Anda beruntung. Pemandangan yang ditunggu-tunggu para
fotografer dengan peralatan canggih masing-masing. Mereka mendaki bukit
(trekking) saat hari masih gelap, saat tanah hutan berbau harum, saat kabut
tebal memberi suasana misty morning,
udara sejuk dan segar.
Kami membawa lampu senter sebagai sumber penerangan.
Ketika tiba di atas bukit sekitar pukul 04.00 belum terlihat apa-apa. Landscape
di hadapan masih gelap-gulita namun semua sudah bersiap-siap menyetting kamera
masing-masing.
Hingga beberapa saat kemudian langit mulai terang namun
tak ada matahari. Matahari fajar memang agak sulit ditemui pada musim penghujan
ini. Kabut dan mendung menggantung di awan. Tak apa, kami memotret apa adanya.
Apa adanya pun cukup. Tak ada yang bisa mengeluh di pagi yang indah ditemani
segelas kopi di atas bukit. (Kopi atau teh disediakan bagi pendaki bukit
Punthuk Setumbu, sudah termasuk dalam harga tiket).
Suatu hal yang tak boleh dilupakan bila berkunjung ke
pedesaan adalah sarapan di pasar tradisional, mencari sarapan khas daerah yang
masih dimasak dengan cara-cara tradisional. Contohnya misalnya bubur gudeg di
pasar Borobudur.
Kami menyempatkan mengunjungi Candi Borobudur, yang
seperti biasa pada saat liburan, dibanjiri pengunjung. Kami juga sempat
menyambangi Resort termahal di sana, Amanjiwo, persiapan untuk masa depan.
Dari sana perjalanan dilanjutkan ke Gunung Merapi untuk
melihat kondisi terbaru sejak meletus di tahun 2010. Letusan gunung api itu
ternyata jangkauannya cukup jauh, di beberapa tempat masih dapat dilihat
timbunan pasir yang luas, walaupun gunung-gemunung telah menghijau kembali. Tak
bisa melihat sisa letusan pada puncak Gunung Merapi karena tertutup awan.
Melalui negosiasi yang memakan waktu cukup lama, para
penjaga akhirnya membiarkan kami masuk daerah Gunung Merapi menggunakan jeep
kami sendiri. Tempat ini sudah menjadi agak sedikit terlalu komersil,
pengunjung yang masuk harus menyewa jeep dari panitia, atau menumpang motor trail.
Salah satu obyek yang banyak dikunjungi orang di sini
adalah rumah peninggalan Mbah Marijan, dengan beberapa spanduk dan kata-kata
terpasang di sana untuk mengenang beliau. Di sini juga banyak dijual souvenir
untuk mengenang juru kunci Gunung Merapi yang tewas dalam letusan tahun 2010
tersebut.
Perjalanan dilanjutkan ke Candi Prambanan, candi cantik
tempat bersemayam patung Loro Jonggrang. Kecantikan Prambanan hanya berkurang
karena banyaknya pengunjung serta payung berwarna-warni. Untunglah kini para
pengunjung candi (Borobudur juga) diberi pinjaman sarung untuk dikenakan ketika
berada di area candi. Tiket masuk candi tidak bisa dikatakan murah, Rp 30.000
(sama dengan Borobudur), tetapi pengunjung tetap membludak.
Di kompleks Prambanan kita juga bisa mengunjungi sebuah
candi yang tak kalah ayunya, yaitu Candi Sewu. Sewu yang berarti seribu,
dipercaya sebagai candi yang dibangun dalam cerita legenda Loro Jonggrang (di
mana pelamar Loro Jonggrang diminta membangun seribu candi dalam satu malam).
Tidak sabar menunggu hingga saatnya sunset, kami beranjak
dari Prambanan menuju candi Plaosan yang tak jauh dari sana. Di sinilah kami
mendapat sebersit sunset di hadapan sawah yang mengelilingi candi peninggalan
bersejarah itu.
Dari Plaosan mulai semakin mengarah ke selatan, ke arah
Gunung Kidul. Tak jauh dari kota Wonosari kami mampir di sebuah cafe (Bukit
indah kalau gak salah) dengan view kota di malam hari yang magnificent. Tempat
ini mirip Rindu Alam di Puncak, dan menjadi tempat nongkrong anak-anak muda di
sekitar.
Kami tiba di Pantai Drini yang akan menjadi tempat kami
bermalam sekitar pukul 20.00. Hidangan makan malam berupa seafood yang segar
pun segera disiapkan pemilik warung yang kami datangi. Pesta seafood pun
menutup hari ini yang “Full Candi.”
Hari
Ketiga
(foto
3: sunrise Pantai Drini, Gunung Kidul)
Apabila kemarin terasa seperti “Full Candi” hari ini akan
terasa seperti “Full Pantai” mengingat rute yang akan kami lalui adalah
menyusur sepanjang pantai selatan.
Mentari muncul dari balik tebing-tebing karang pantai
Drini, mengintip dengan perlahan malu-malu, lalu dengan garang menunjukkan
terangnya pada dunia. Pagi ini, terbalas upaya kami bangun pagi, sebelum jam
05.00 pagi matahari pun menyembul untuk diabadikan.
Setelah puas bermain di pantai Drini (baca: foto-foto,
sarapan, bengong-bengong, menikmati pagi yang tenang dalam keramahan sang
pemilik warung Bapak Suprihatin dan keluarga--- kami bermalam di selasar warung
pinggir pantai ini, dibuai debur ombak pantai selatan yang garang), saat
berangkat pun tiba sudah. Hari ini kita akan menyusuri pantai selatan Jawa,
dengan tujuan akhir Pantai Klayar di Pacitan, Jawa Timur.
Banyak pantai yang dilalui dalam rute ini. Di antara
pantai yang relatif lebih terkenal misalnya Pantai Baron, Pantai Kukup dan
Pantai Indrayanti. (Relatif lebih terkenal karena setidaknya ada yang pernah
mendengar namanya) Pantai Drini terletak di antara Pantai Parangtritis,
Yogyakarta (yang jauh lebih terkenal lagi) dan Pantai Baron.
Kami mengira akan mendapatkan pengalaman ala film “Cast
Away” di Pantai Drini. Pantai ini memang cukup terbilang baru berkembangnya.
Listrik PLN saja baru masuk dua bulan yang lalu. Jadi kami cukup beruntung,
mendapatkan fasilitas listrik dan air, ada banyak kamar mandi umum yang bersih,
yang disediakan pemilik warung sebagai fasilitas yang dapat digunakan
orang-orang yang camping di pantai, dan ada beberapa tenda terlihat di pantai
hari itu. Full musik, bisa karaoke if you
feel like to, dan sinyal HP lumayan, bisa buat internet. Jadi lupakan
obsesi petualangan ala film Tom Hanks itu.
Pantai tempat kami mampir adalah Pantai Baron dan Pantai
Sepanjang. Pantai Indrayanti agak ramai, sudah banyak fasilitas wisata air di
sana.
Selepas siang kami memasuki propinsi Jawa Timur. Menjelang
jalan masuk kabupaten Pacitan terdapat spanduk berbunyi “Selamat Datang di Bumi
Kelahiran Pak SBY.”
Pacitan selain dikenal sebagai bumi kelahiran presiden
kita, juga dikenal sebagai kota 1001 goa. Salah satu goa yang paling terkenal,
dan merupakan goa terbesar di Asia Tenggara, adalah Goa Gong.
Kami tiba sekitar pukul 14.00, perut pas lapar, dan kami
pun segera mencari makanan. Di sini ada penjual pecel tradisional, pecel
dihidangkan dalam pincuk, bisa memilih antara nasi, lontong, atau tiwul.
Tidak disangka di dalam goa udaranya sangat panas.
Pengurus tempat ini harus menyediakan kipas-kipas angin besar, namun sayangnya
banyak yang tidak berfungsi. Dibandingkan dengan goa di Halong Bay Vietnam yang
sangat sejuk, kami merasa heran mengapa dalam goa ini sangat panas. Semua
pengunjung yang keluar dari goa basah bagaikan keluar dari ruang sauna.
Padahal, goa ini memang indah, besarnya mengagumkan.
Banyak bentuk stalagmit dan stalaktit yang memukau. Salah satunya yang
memberikan nama pada goa ini adalah stalaktit (atau stalagmit?) yang bila
ditabuh dapat mengeluarkan bunyi seperti gong. Don’t miss this one. (Rasanya akan sulit melewatkan ini karena rute
pejalan di dalam goa sudah ditentukan, ada jalan setapak dan tangga-tangga yang
dibangun di dalam goa).
Menjelang sore kami lanjut menuju Pantai Klayar. Pantai
ini ternyata cukup terkenal di kalangan fotografer. Betapa tidak, di sini
banyak obyek menarik, mulai dari karang berbentuk mirip seruling yang disebut seruling
laut, ombak yang dramatis menghempas pada karang-karang serupa papan yang
menghasilkan pemandangan mirip air terjun, serta laguna yang jelita.
Mengutip Yogyes.com: Di ujung timur Anda akan disapa oleh sebuah laguna yang jelita. Diapit 2
gugusan batu karang, laguna ini terlihat indah dengan gulungan ombak jernih
yang menghantam dinding karang dan kemudian memecah dan berputar di hamparan
pasir putih.Pemandangan ini seringkali ditunggu barisan fotografer
dengan senjata masing-masing.
Di pantai ini terdapat sebuah penginapan, tidak sulit
menemukannya karena hanya satu-satunya. Dibangun dengan bentuk rumah joglo
limas, disanggah oleh kayu jati yang kokoh, rumah penginapan sederhana ini
berdiri gagah di pantai karang tinggi ini.
Pemiliknya adalah pak Sutarno, hanya tersedia 5 kamar.
Kita dapat memesan hidangan makan pagi, siang atau malam dengan mbak dan mas
yang menjaga penginapan ini. Kami makan malam di sini setelah menikmati sunset
di Pantai Karang Bolong. Sambal buatan mbak di sini, maknyusss, bikin nambah
dan nambah...
Pantai Karang Bolong. Salah satu surga tersembunyi. Letaknya
hanya di sebelah Pantai Klayar. Tak ada sesiapa di sini. Keluasan panorama,
keagungan suasana senja, begitu dekat rasanya dengan Samudera Hindia yang maha luas.
Kami berdiri di tepian tebing tinggi.
Hari
Keempat
(foto
4: team Jeep dan team Fortuner)
Tak puas dengan sunset, keesokan pagi kami kembali lagi
ke Pantai Karang Bolong untuk menikmati pemandangan sunrise. Kali ini kami
ditemani rombongan lain yang menginap di tempat yang sama, para lelaki yang
membawa Fortuner putih yang masih mulus. Mereka tertarik mendengar bualan kami
tentang si cantik eksotis Karang Bolong.
Selepas sunrise, sarapan di Klayar, mandi-mandi, saat
berkemas pun tiba. Ransel-ransel naik duluan ke Jeep, kami foto-foto dulu di
depan rumah joglo, dan bersama pak Sutarno.
Salah satu hal yang menarik ditemukan di daerah sekitar
sini adalah masih banyaknya terdapat rumah-rumah tradisional Jawa, atau rumah
beratap joglo dengan berbagai bentuk. Pemandangan yang sangat menarik sekaligus
menggembirakan.
Perjalanan pulang kami tidak lagi melalui pantai selatan,
tetapi ke arah utara, yaitu Wonogiri dan kemudian Solo. Dari Solo naik pesawat
ke Jakarta.
Puas rasanya dalam perjalanan yang tanpa terasa telah
melintasi 3 propinsi ini: Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Banyak
pemandangan pedesaan, pantai dan gunung, semua kuserap sebisanya dalam
indera-indera manusia yang terbatas ini.
DAN... pada awal perjalanan pulang kami diberikan bonus
kejutan menemukan pantai yang tak terduga-duga sangat indah. Pantai ini bernama
Banyutibo. Coba saja google, dia disebut the
unknown paradise. Sampai kapankah rahasia ini bisa disimpan? Entahlah.
Dalam perjalanan kami mampir untuk makan siang di dekat
Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Warung Bu Karni namanya, sederhana, tapi
selalu penuh. Botok ikan air tawar adalah khas-nya. Puas... puas... puas...
Tiba di Solo kami disambut hujan deras. Tak banyak lagi
yang bisa dilakukan sembari menunggu penerbangan kami ke Jakarta. Akhirnya,
sekali lagi harus mengucap selamat berpisah untuk sementara pada perjalanan dan
penjelajahan. See you on next trip,
ucap kami ketika berpisah.
Semoga selalu ada kesempatan untuk terus menjelajah, dan
menemukan, keindahan-keindahan tersembunyi Indonesia.
Baca juga:
Hello Mei!! I see you have not been "goodthings" in a long time and I was just wondering if there anyway you can delete this blog, so I can use this awesome domain name.. I'm assuming you don't use it anymore since nothings been posted in 8 years.. I completely understand if you don't want it. Just thought I should ask..
ReplyDeleteHope to hear from you soon!
I'll sell for a cheap price if you're interested, pls contact me.
Delete