Mencari Shangri-la
Shangri-la
adalah negeri fantasi, sebuah desa di lembah yang tersembunyi di balik
gunung-gunung tertinggi di dunia. Jauh dan sulit dicapai, ketinggian serta
ketiadaan kemudahan untuk mencapainya membebaskannya dari kontaminasi dunia
luar. Di sana penghuninya hidup dalam kedamaian dan harmoni, di bawah naungan
puncak gunung yang bercahaya seperti perak di malam hari. Bulan biru yang magis
terkadang menampakkan sinarnya, penduduk hidup bahagia hingga tak pernah menua.
Semua
kebutuhan penghuninya tersedia, mereka tiada berkekurangan, bahkan dapat
menikmati kemewahan. Mereka juga disajikan hal-hal yang mereka sukai seperti
buku-buku dan musik klasik yang menjadi kenikmatan rohani kaum intelektual. Di
sana waktu seolah berhenti, kita pun memiliki waktu seperti yang tak pernah
kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Shangri-la membius dan membuai,
pesonanya membuat siapa saja yang datang ke sana menjadi lemah dan kehilangan
dirinya.
Seperti
itulah Shangri-la yang dilukiskan dalam buku klasik (tahun 1933) berjudul Lost
Horizon karangan penulis Inggris James Hilton. Buku ini sangat populer di
kalangan pejalan, sudah dua kali difilmkan, serta menjadi salah satu buku yang
menginspirasi dan mengawali obsesi-obsesi menahun kaum pejalan tentang daerah
Himalaya dan sekitarnya. Obsesi pada ketinggian dan keterpencilan. Obsesi
tentang dunia timur yang mistik dan eksotis.
Shangri-la
pun lalu menginspirasi perusahaan yang mendirikan jaringan hotel internasional
dengan nama yang sama. Konsep “heaven on earth” pada nama Shangri-la begitu menarik
dan menjual. Pada tahun 2001 China mengganti nama sebuah kota tak jauh dari
perbatasan Tibet, yaitu Zhongdian, menjadi Shangri-la. Gagal mendapatkan izin
masuk Tibet bulan Maret yang lalu, ke kota inilah kemudian kami berkunjung.
Xiangkelila
Agar
dapat ditulis dalam aksara China, kata Shangri-la pun harus mengalami
transliterasi menjadi Xiānggélǐlā (香格里拉). Beberapa tahun yang lalu dalam catatan-catatan
perjalanan rekan backpacker, masih banyak petunjuk jalan yang belum diganti,
masih menggunakan nama sebelumnya yaitu Zhongdian. Tapi kini saya temui kata
Xiangkelila sudah merasuk ke mana-mana, tak ada seorang pun yang kami temui
yang tidak mengetahuinya. Pejalan maupun lokal (bukan pejalan) mengenal Shangri-la sebagai tujuan
wisata tersohor, baik bagi yang sudah pernah ke sana maupun yang belum pernah
ke sana. Semua menyebut Shangri-la sebagai tempat yang indah. “Xiangkelila hen mei,” demikan kata
orang-orang.
Sebagai salah satu destinasi
paling tersohor di China, kunjungan ke Shangrila biasanya dibarengi dengan
kunjungan ke beberapa kota menonjol lainnya di propinsi Yunnan. Propinsi di
ujung barat China yang berbatasan dengan Tibet serta Asia Tenggara ini sering
disebut-sebut sebagai tempat asal nenek moyang bangsa Indonesia.
Karena berada di ketinggian
3200 meter di atas permukaan laut (mdpl), biasanya tidak disarankan untuk kita
yang terbiasa bermukim di dataran rendah untuk langsung mendarat di Shangrila.
Kami menempuh rute: Jakarta-Kun Ming- Dali-Lijiang-Tiger leaping
gorge-Deqin-Shangrila-KunMing-Jakarta. Rute yang luar biasa, ketika saya
melihatnya sekarang. Melewati musim semi di pedesaan dan barisan
gunung-gemunung berselimutkan salju. Sebagian dari gunung-gunung itu ketinggian
puncaknya melebihi 4500 mdpl.
Karena itulah, sebelum
berangkat dalam trip ini, rasanya gugup sekali. Banyak kecemasan. Belum pernah
saya merasa segugup ini, bagaikan baru pertama kali bepergian. Mau packing pun
bingung. Apa yang sebaiknya dibawa, sementara bawaan tidak boleh berlebihan.
Membawa bawaan yang terlalu berat hanya akan merepotkan diri sendiri. Haruskah
saya bawa koper atau carrier? Membawa carrier dengan baju hangat, betapa
beratnya harus menggendong semua beban itu di pundak.. akhirnya aku memutuskan
membawa sebuah koper kecil dengan sebuah ransel (backpack).
Walaupun sudah pernah
mengalami bagaimana rasanya suhu -20 derajat Celcius (baca: Harbin), masih saja
ada kecemasan untuk trip kali ini. Karena kami akan melakukan perjalanan ini
ala backpacker serta melewati dan mengunjungi tempat-tempat dengan ketinggian
lebih dari 4000. Cemas akan kedinginan, high altitude sickness, cemas akan
dataran tinggi yang tipis oksigen sehingga perlu mengenakan masker, dan
sebagainya.
Ternyata semua syukurlah
telah berlalu dengan baik-baik saja. Kami memasuki Shangrila melalui kota kecil
Deqin yang terletak sekitar 80 km dari perbatasan Tibet. Kota Deqin terkenal
dengan keindahan Meili Snow Mountain atau Kawa Kerpo dalam bahasa Tibet, sebuah
puncak gunung yang disucikan penduduk setempat. Selain itu, keindahan kota
Deqin yang sering disebut-sebut dalam catatan perjalanan justru adalah
pemandangan dalam perjalanan mencapainya.
Pemandangan dalam road trip Shangrila-Deqin
dan sebaliknya Deqin-Shangrila adalah salah satu pemandangan dalam perjalanan
terbaik yang pernah saya alami. Lima jam perjalanan tidak terasa sama sekali,
dengan suguhan pemandangan gunung-gunung bersalju yang tak ada habisnya. Kamera
tak berhenti beraksi, walaupun rasanya lebih puas bila menikmati dengan mata
telanjang, tapi rasanya tak tahan untuk ingin mengabadikan dan membawa pulang
pemandangan indah ini. Kami juga melintasi gunung Baima yang puncaknya mencapai
4900 mdpl. Sopir mobil sewaan kami bertanya apakah kami mengalami pusing-pusing
atau mual atau gejala-gejala high altitude sickness yang lain? Syukurlah, tak
seorang pun dari kami merasakannya.
Di antara beberapa tempat
wisata favorit di Shangrila akhirnya kami hanya memilih Songzanlin Monastery
(it’s a must!), sebuah biara Tibetan yang berdiri megah menggapai langit biru,
dan Shika Mountain (ketinggian di atas 4.500 mdpl). Selain itu kami hanya lingering di kota tua Shangrila,
menikmati tari-tarian Tibet yang dipertunjukkan setiap malam di Dancing Square,
berjalan-jalan santai di kota yang menyenangkan itu, main ke pasar tradisional,
naik bus umum... merasakan apa yang dirasakan penduduk setempat.
Walaupun udara dingin (mencapai
-4 derajat Celcius di malam hari), tapi di siang hari matahari bersinar sangat
terik. Langit sangat biru, udara sangat cerah dan bersih, sinar matahari
menusuk tajam bagaikan sangat dekat. Orang-orang tua berwajah legam dan keriput
adalah pemandangan picturesque yang
mudah ditemui di Shangrila selain biarawan-biarawan (monk) Tibetan yang
mengenakan jubah merah marun. Kami bertanya-tanya apakah keriput itu adalah
hasil akibat sinar UV yang kuat, entahlah. Masih banyak juga penduduk yang
mengenakan pakaian tradisional suku-suku minoritas, menjadikan tempat ini surga
bagi para fotografer.
Bersantai di kota tua Shangrila, di salah satu dari
guesthouse yang bertebaran, dengan segala kebutuhan ada di sana, buku-buku dan
musik serta makanan yang enak dan murah, rasanya memang bisa lupa waktu dan
lupa diri. Terbebas dari segala tuntutan, bebas untuk menjadi siapa yang kita
inginkan, memiliki waktu yang bebas kita gunakan untuk diri kita sendiri,
membuat kita berpikir, yah, mungkin ini memang Shangri-la. Dan ke tempat inilah
kita akan selalu kembali. Karena untuk itulah kita bepergian; untuk mencari,
dan menemukan dan kemudian mencari lagi, Shangri-la kita.
Hi Mei, ceritanya sangat menarik dan bermanfaat. Semoga nanti kami tidak kedinginan di bulan Oktober/November dimana sudah mulai winter. Keep writing...
ReplyDeleteThx anonymous.. Semoga nanti winternya cukup bersahabat ya.. Have a pleasant journey...
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteHi Mei, nama saya Bonai dari Malaysia. Boleh saya dapatkan email address? Mahu berbincang berkenaan blog. Atau boleh email saya dahulu di bonai99@gmail.com
ReplyDeleteTerima kasih ye!
Hello Mei!! I see you have not been "goodthings" in a long time and I was just wondering if there anyway you can delete this blog, so I can use this awesome domain name.. I'm assuming you don't use it anymore since nothings been posted in 8 years.. I completely understand if you don't want it. Just thought I should ask..
ReplyDeleteHope to hear from you soon!
hai mey,,, aq berminat dengan blogmu yang lowongan.blogspot.com
ReplyDeletekalau boleh mau tak beli 500 ribu rupiah, boleh gak?
kalau boleh km hubungi HPku: 085852176642
Hai mas Eko, pls email me aja, meixia @ gmail.com
ReplyDelete