Catper Timor Overland Juni 2023 Day 2: Fatu Ulan, Desa Boti, Soe

Hari kedua, terbangun jam 6 pagi di kota Soe yang sejuk. Sarapan baru mulai jam 7 pagi di Hotel Bahagia Dua, tempat kami menginap selama tiga malam di Soe. Setelah mandi dan bersiap, kami pun sarapan. Sarapan di Hotel Bahagia Dua terdiri dari pilihan roti atau nasi dengan lauk pauk seperti ayam goreng, telor dadar, dan sayuran. 


Acara hari ini dimulai pukul 08.00 pagi dimana kami sudah ditunggu 3 mobil Toyota Hilux 4WD. Rute yang akan dilalui hari ini dan besok cukup menantang sehingga ketiga Innova hitam istirahat dulu di Soe, digantikan oleh saudaranya yang four wheel drive


Jangan lupa mampir membeli jeruk Soe di pinggir jalan


Fatu Ulan


Dari kota Soe kami menuju Fatu Ulan. Perjalanan ke Fatu Ulan sekitar 2 jam dari Soe, dengan jarak tempuh sekitar 70-80 km. Desa Fatu Ulan terletak di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan terletak di dataran tinggi sekitar 1.000 mdpl. Karena berada di ketinggian, tempat berupa sabana luas ini sering tertutup kabut. Dari sini kita bisa melihat garis pantai Kolbano dari kejauhan. 


Fatu Ulan, ke mana pun mata memandang, sama indahnya.

Fatu Ulan, desa di atas awan yang sejuk dan sering berkabut.


Panitia MyTrip lagi-lagi menunjukkan sisi romantismenya dengan menggelar tikar piknik di Fatu Ulan ini. Ke mana pun mata memandang, pamandangan sama bagusnya: hamparan bukit hijau yang luas, bukit berbatu, pepohonan hijau yang jarang, langit yang biru serta gumpalan awan yang cantik, ditambah udara yang sejuk, memang sempurna ketika dipadukan dengan segelas kopi atau teh panas. 


Dalam perjalanan dari Soe ke Fatu Ulan, kami melihat pemandangan yang membuat penasaran. Rumah-rumah di desa yang kami lewati, rata-rata di belakang rumah utama, terdapat sebuah rumah yang lebih kecil dan lebih rendah. Rumah bulat kecil di belakang rumah utama ini beratapkan rumput ilalang dari atas hingga ke bawah. Karena penasaran, kami bertanya kepada Om Joni, driver kami. Om Joni bilang itu adalah dapur. 


Teman kami tidak percaya. Masa dapur tertutup begitu? Bagaimana masaknya? Masuknya pun harus menunduk karena pintunya terlihat sangat rendah. Trus asap dari masakan bagaimana? (karena rumah kecil itu terlihat tidak berventilasi). Sepanjang perjalanan terjadi argumen karena teman kami sulit mempercayai bahwa itu adalah dapur. 


Ketika bertemu Nuno, guide kami yang merupakan certified guide, terjawablah rasa penasaran tersebut. Sambil minum teh, kami mendengarkan penjelasan Nuno. Nuno menjelaskan, rumah bulat kecil atau "ume kbubu" dalam bahasa Dawan adalah rumah asli orang Timor zaman dahulu. Ume Kbubu berfungsi sebagai rumah tinggal, dapur, dan di bagian dalam ada loteng seperti plafon umumnya, dan ruang kosong plafon dan bubungan adalah ruang penyimpanan makanan dan alat-alat rumah tangga lainnya. Lalu kemudian sekitar tahun 1970-an seiring perkembangan zaman mulai dibangunlah rumah utama di depan seperti yang terlihat sekarang sehingga ume kbubu lebih difungsikan sebagai dapur dan tempat penyimpanan stok makanan.


Ume Kbubu, rumah adat Pulau Timor. Sumber: Twitter @GNFI

Dikutip dari Wikipedia, pada tahun 2004, pemerintah menyoroti permasalahan yang timbul dalam Ume Kbubu. Bentuk fisik ume kbubu dianggap merupakan bentuk rumah yang jauh dari persyaratan rumah sehat sehingga menjadi penyebab tingginya angka kejadian ISPA bagi bayi. Hal ini karena bentuk ume kbubu yang dapat menyimpan panas dari hasil pembakaran dalam ruangan secara efektif. Pintu yang rendah juga menambah efektivitas ume kbubu dalam mencegah asap keluar. Kegiatan ritual adat panggang atau sei merupakan kegiatan yang biasa dilakukan orang Dawan untuk mengawetkan hasil panen jagung, kacang hijau, dan kacang merah. Sei dapat mengurangi kadar air dalam jagung dan asap atau jelaga yang dihasilkan proses tersebut dapat menjadi pelapis permukaan jagung sehingga serangga tidak bisa merusak hasil panen tersebut. Bentuk ume kbubu dan kebiasaan memanggang inilah yang kemudian dianggap menyebabkan kondisi tidak sehat tersebut. Ternyata design dapur yang membuat teman saya protes ini memang memiliki implikasi kesehatan. 


Di Fatu Ulan banyak spot berfoto yang membuat foto terlihat dramatis dengan tebing-tebing yang tinggi. Kita juga bisa puas berjalan di sepanjang bukit yang luas, dengan cakrawala pandang yang tidak berbatas. Dapat ditemukan juga ternak sapi yang sedang merumput. Sambil berjalan di tengah padang yang luas, kita akan menjumpai pepohonan kaktus di sana-sini. Di sinilah pertama kali saya mencicipi buah kaktus. Ternyata buah kaktus ini boleh dimakan. Agak perjuangan mengupasnya karena banyak duri. Rasanya enak, mirip-mirip buah naga.


Asal Muasal Nama Soe


Setelah makan siang di Fatu Ulan (sama seperti kemarin, nasi box dengan bonus wonderful view), perjalanan dilanjutkan ke Desa Boti. Rute yang dilalui semakin menantang. Off-roading dimulai di atas jalan-jalan berbatu, jalan tanah merah, bahkan melewati sebuah sungai yang telah kering sebelum tiba di desa Boti. Keahlian mengemudi pun penting selain kondisi kendaraan yang mumpuni. 


Off road menyusuri bekas sungai yang kering dalam perjalanan ke desa Boti.


Dalam perjalanan ini kami melalui desa-desa dimana anak-anak tampak sedang bermain di depan rumah pada sore hari. Ada pemandangan yang menarik perhatian saya, sekitar pukul 3 sore gitu, tampak di depan beberapa rumah, anak-anak sedang menimba air dengan pompa jet pump. Tiba-tiba saya teringat sebuah artikel yang pernah saya baca tentang asal muasal nama kota Soe. 


Soe dalam Bahasa Timor artinya “menimba.” Konon nama ini diperoleh dari hasil pertemuan seorang tentara kolonial dengan wanita setempat. Dahulu, saat si tentara lewat kota ini, dia bertanya kepada seorang wanita yang sedang menimba air, apa nama kota ini. 


Karena tidak paham bahasa yang digunakan tentara tersebut, si wanita mengira yang ditanyakan adalah apa yang sedang ia lakukan. Maka ia pun menjawab “soe” yang artinya menimba air. Si tentara pun mengira Soe merupakan nama kota itu dan melaporkan kepada komandannya. Konon, dari sanalah diresmikan nama kota Soe pada tahun 1920.


Desa Boti


Kami tiba di Desa Boti sekitar pukul 4 sore. Desa Boti, sebuah desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan menutup diri dari dunia luar, sudah sering diliput media dan menjadi obyek penelitian. Raja Boti tampaknya cukup sibuk. Ketika kami berkunjung, ia juga menerima tamu lain seorang professor dari sebuah universitas di pulau Jawa. Kami membawa persembahan berupa sirih pinang, suatu hal yang biasa dilakukan bila mengunjungi rumah adat di pulau Timor. Sirih pinang bisa dibeli di pasar yang dilalui dalam perjalanan ke Desa Boti. 


Dikutip dari Tempo.co, kampung Adat Boti terletak sekitar 30 kilometer dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Suku adat yang mendiami pegunungan di Kecamatan Kie ini merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Meto.


Kampung ini terbagi menjadi dua, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi. Warga Boti Dalam tinggal di areal seluas 3.000 meter persegi yang dikelilingi pagar kayu. Sedangkan Boti Luar sudah beragama. Mereka menganut Kristen Protestan dan Katolik.



Foto bersama Rombongan MyTrip dengan Raja Boti


Berfoto di Kampung Boti Dalam


Sesi tanya jawab dengan Raja Boti dilakukan dalam Bahasa Dawan, dengan Nuno sebagai moderator dan translator kami. Sepertinya sang Raja agak lelah melayani pertanyaan dari professor yang duluan sebelum kami karena itu dipesankan agar jangan nanya yang susah-susah. Kami pun menanyakan hal-hal umum saja. Sewaktu menunggu giliran, sayup-sayup terdengar pertanyaan dari pak profesor semuanya filosofis tentang kearifan lokal suku Boti. Pastinya sangat melelahkan buat sang Raja.


Ketika hari mulai gelap, tampak lampu di rumah sang Raja menyala, dan kami pun penasaran. Kami mengira tidak ada listrik di desa ini. Ternyata lampu yang digunakan menggunakan tenaga surya, dan karena powered by alam, maka boleh digunakan.


Setelah sesi tanya jawab, kami berkeliling kampung adat Boti sebentar dan kemudian diajak ke sebuah rumah yang menjual hasil tenun suku Boti yang terkenal. Sayangnya hari sudah gelap dan kami tidak bisa berlama-lama di sini, mengingat jalur pulang yang harus ditempuh pastinya sama menantang seperti saat datang ke sini. 


Kami tiba kembali di kota Soe sekitar pukul 19-an, langsung menuju Rumah Makan Family di depan hotel. Akhirnya saya berkesempatan mencicipi nasi sei babi. Terdiri dari nasi, sei babi (daging babi asap khas Timor), sayur jantung pisang, sedikit bihun, sop brenebon (sop kacang merah) dan sambal luat. Satu paket Rp 30.000. Harga yang bersahabat. Ditutup dengan jeruk Soe yang kami beli dalam perjalanan. 


(bersambung)


Baca juga: Catper Timor Overland Juni 2023 Day 1: Jakarta – Kupang – Soe


Tulisan berikutnya: 


Catper Timor Overland Juni 2023 Day 3: Fatumnasi, Padang Satu Gunung Mutis, Hutan Bonsai, Tunua, Fatu Nausus 


Comments

  1. Mayawati8:30 AM

    Makasih Mei. Ditunggu Day 3 nya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama kak.. sudah tayang ya..

      Delete

Post a Comment

Popular Posts