Catper Timor Overland Juni 2023 Day 3: Fatumnasi, Padang Satu Gunung Mutis, Hutan Bonsai, Tunua, Fatu Nausus

Hari ketiga berbeda dengan hari lainnya di trip ini, karena kami berangkat jam 3 pagi. Mengapa harus berangkat di tengah malam begitu? Hal ini karena biar waktunya pas untuk melihat matahari terbit (sunrise) di Padang Satu Gunung Mutis. Perjalanan dari Soe ke Fatumnasi sekitar 1,5 jam, ditambah perlu trekking sekitar 30-45 menit untuk menuju Padang Satu Gunung Mutis. Dengan perhitungan waktu seperti itu, kita akan tiba di Padang Satu sekitar pukul 5 pagi, pas untuk menunggu terbitnya sang surya. 


Berjarak sekitar 35 km ke arah utara dari kota Soe, Fatumnasi adalah areal taman wisata yang luas yang mencakup beberapa obyek seperti Cagar Alam Gunung Mutis, Hutan Bonsai yang sering disebut Taman Eden, Tunua, dan Fatu Nausus.


Gunung Mutis dengan ketinggian 2.458 mdpl adalah gunung tertinggi di wilayah Timor Barat, secara administratif berada di perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Gunung ini memiliki tiga puncak dan merupakan Cagar Alam Gunung Mutis yang terkenal dengan kekayaan marmernya. Penghuni Gunung Mutis adalah salah satu suku tertua di NTT yaitu Suku Dawan.


Pendakian ke Gunung Mutis biasanya dimulai dari desa Fatumnasi yang merupakan titik kumpul para pendaki. Sepanjang jalur pendakian menuju puncak gunung ini terdapat 3 pos. Nah Padang Satu bisa dikatakan sebagai teras depan Gunung Mutis. Bagi yang ingin menikmati pemandangan dan suasana alamiah tanpa perlu mendaki hingga puncak gunung, di sinilah tempatnya. Hanya diperlukan trekking ringan sekitar 45 menit, kita sudah dapat menikmati pemandangan padang sabana maha luas dengan view puncak Gunung Mutis yang gagah. Padang sabana maha luas ini menawarkan view yang indah ketika matahari terbit. Panitia MyTrip memilih tempat ini untuk membuka bekal sarapan seperti teh, kopi, roti, dan telur.


Tampak puncak gunung Mutis dari Padang Satu

Sekelompok sapi ternak sedang merumput di padang rumput yang maha luas ini.

Sunrise Padang Satu Gunung Mutis


Dari Padang Satu Gunung Mutis kami menuju Hutan Bonsai. Di sini kita dapat menjumpai pohon-pohon bonsai yang tinggi, dengan batang menjulang ke sana-sini serta lumut-lumut yang bergelantungan di batang dan rantingnya. Pohon yang tumbuh secara alami ini telah berusia ratusan tahun. 


Secara umum saya mengamati vegetasi di Gunung Mutis cukup unik. Saya suka melihat pepohonan di sini, walaupun saya tidak kenal nama-nama pohon. Ketika mengecek Wikipedia, tertulis bahwa vegetasi di Gunung Mutis merupakan tipe hutan homogen dataran tinggi dengan kerapatan sedang yang didominasi oleh flora ampupu dan cendana. Selain itu juga terdapat beragam jenis tanaman lain seperti paku-pakuan, rumput-rumputan, dan bonsai. Pantasan saya banyak melihat deretan tetumbuhan pakis di sini. 


Vegetasi yang unik ini menjadi bonus, membuat saya semakin enjoy, trekking di Gunung Mutis. Trekking-nya saja sudah cukup menyenangkan, karena tempat ini masih sepi, tidak seperti gunung-gunung ngetop di Pulau Jawa. Rasanya masih kurang trekking hanya 45 menit. Karena itu ketika di Padang Satu saya puaskan dengan berjalan berkeliling padang yang maha luas itu, sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Hingga tak sadar saya kejeblos ke kolam air yang tertutup rumput-rumput tinggi. Alhasil, seluruh sepatu saya basah hingga ke kaos kaki. Akhirnya, saya memilih berjalan di Padang Satu ini dengan kaki kosong, daripada mengenakan sepatu yang basah kuyup.


Bila kita terbiasa mendengar istilah tangan kosong, di Pulau Timor inilah saya pertama kali mendengar istilah kaki kosong, artinya tidak mengenakan alas kaki. 


Foto bersama ketiga mobil Toyota Hilux 4WD yang menemani kami selama dua hari. Saya suka pohon-pohon di belakangnya tuh.. 

Hutan Bonsai. Sumber foto dari ttskab.go.id


Bapak Mateos Anin, Sang Juru Kunci Gunung Mutis


Hari ini kami makan siang di Lopo Mutis, homestay yang dikelola oleh bapak Meteos Anin, sang juru kunci Gunung Mutis. Di usia 86 tahun, Bapak Anin masih sangat energik dan aktif, setiap hari ada saja acara di Lopo Mutis, homestay yang sekaligus menjadi pusat informasi tentang Fatumnasi dan Gunung Mutis. Pengunjung ke Fatumnasi dan pendaki Gunung Mutis juga wajib melapor ke sini.


Bapak Mateos Anin dengan tongkatnya di depan rumah bulat yang difungsikan menjadi ruang pertemuan.


Pak Anin bercerita bahwa dia sejak dulu mendaki gunung Mutis selalu dengan kaki kosong, sebagai salah satu rahasia awet muda beliau selain staying active, sibuk dengan kegiatan sehari-hari beliau.


Sebelum menyantap makan siang yang disediakan di sana, Bapak Anin melakukan ritual seperti berdoa dalam Bahasa Timor. Ada juga upacara penyerahan kain tenun tradisional kepada perwakilan dari rombongan MyTrip, lalu kita diajak menari mengelilingi rumah bulat tersebut, sambil meneriakkan, “I love Fatumnasi” dan “I love Gunung Mutis” di sela-sela seruan dalam Bahasa Timor yang dipimpin Pak Anin. Pak Anin juga minta doa dan dukungan untuk mewujudkan visinya menaikkan status Gunung Mutis dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional. 


Tunua, Fatu Nausus dan Aleta Baun

 

Selesai makan dan mengobrol dengan Bapak Anin, perjalanan dilanjutkan ke Tunua. Ini adalah bukit bekas tambang marmer, sehingga menyisakan pemandangan bebatuan berbentuk kotak-kotak berserakan. Nuno, guide kami, bercerita bahwa dahulu bukit ini adalah tambang marmer yang dikelola sebuah perusahaan besar. Marmer desa Tunua ini dipotong dengan mesin-mesin besar dan diangkut ke kota-kota besar di Indonesia.


Khawatir akan timbulnya kerusakan alam, tambang marmer ini pun kemudian mendapat penolakan dari masyarakat adat setempat. Kisah perjuangan penolakan dari masyarakat adat ini sangat inspiratif, dimana ratusan mama-mama (panggilan untuk ibu-ibu di Pulau Timor) menenun di lokasi tambang sebagai tanda protes. Cerita yang menarik ini membawa saya menelurusi internet dan menemukan sosok Aleta Baun.


Dikutip dari Wikipedia, sejak tahun 1980an pemerintah daerah menerbitkan izin untuk perusahaan-perusahaan tambang marmer. Perusahaan-perusahaan ini mulai memotong batu marmer dari gunung keramat suku Molo. Kegiatan yang dilakukan tanpa konsultasi dengan pendukuk desa mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan, tanah longsor, dan meracuni sungai, yang merupakan bahan makanan, obat, dan juga pewarna alam dalam menenun bagi penduduk sekitar.


Pada tahun 1990-an Aleta Baun memutuskan untuk melawan dan mulai mengorganisasikan protes kepada perusahaan perusahaan penambang, bersama tiga wanita lain mereka menggalang dukungan dari desa ke desa berjalan kaki hingga enam jam. Protes tersebut mengakibatkan balasan kekerasan dari penambang dan Mama Aleta Baun terpaksa lari ke hutan bersembunyi dari ancaman pembunuhan. Di tengah-tengah intimidasi, Aleta Baun tetap mengkampanyekan perlawanan selama 11 tahun.


Puncaknya adalah pada tahun 2006, Aleta Baun berhasil menggalang dukungan ratusan penduduk desa, yaitu sebanyak 150 wanita menenun di depan pintu tambang dan menduduki Bukit Anjaf dan Bukit Nausus di kaki gunung selama satu tahun. Kaum pria membantu dengan mengasuh anak, memasak, dan mengirim makanan pada kaum wanita yang terus menenun menghalangi penambang. Atas desakan masyarakat di dalam dan di luar negeri yang mendukung para wanita penenun, penambangan akhirnya dihentikan pada tahun 2007. Pada tahun 2010, mereka secara resmi menarik diri dari lokasi penambangan. 


Saat ini, Mama Aleta memasuki babak baru perjuangan anti tambang untuk penyelamatan lingkungan, dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Timur 2014 – 2019. 


Bukit Tunua dan Fatu Nausus kini beralih menjadi lokasi wisata. Di Tunua terdapat beberapa spot berfoto di atas tebing dengan latar belakang pemandangan perbukitan yang indah. Ketika kami datang di tempat ini cukup ramai dengan wisatawan, ada juga beberapa keluarga yang menggelar piknik di sini. Dari Tunua kami lanjut ke Fatu Nausus. Fatu Nausus menawarkan view berupa bukit batu karst yang tinggi menjulang seperti terbelah. Bukit ini juga mengandung batu marmer yang konon berkualitas tinggi. Jangan lupa mengenakan pakaian berwarna cerah agar kontras difoto dengan latar bebatuan.


(bersambung)


Baca juga:


Catper Timor Overland Juni 2023 Day 1: Jakarta – Kupang – Soe


Catper Timor Overland Juni 2023 Day 2: Fatu Ulan, Desa Boti, Soe


Tulisan Berikutnya: 



Catper Timor Overland Juni 2023 Day 4: Kefamenanu, Gereja Del Piero, Desa Tualeu, PLBN Napan

Comments

Popular Posts