Trekking di Pulau Sempu



Banyak yang sudah diceritakan tentang Pulau Sempu, sebuah pulau kecil di selatan Malang. Ada yang menyebutnya sebagai "The Beach" Indonesia, pantai yang mengingatkan kita pada film yang dibintangi Leonardo di Caprio itu. Coba saja Google. Pasti akan ketemu cerita-cerita perjalanan yang mengasyikkan dan foto-foto pantai yang keren.

Tidak demikian halnya dengan saya. Yang saya ingat tentang Pulau Sempu---dan akan terpatri selamanya dalam ingatan saya---adalah trekking di hutan yang becek dan licin, sambil bertelanjang kaki (alias nyeker), selama 8 jam, dari terang hingga gelap, dan sebagian di antaranya sendirian. Saya berharap tidak ada yang mengalami nasib seperti saya.

Bukan karena saya tidak menikmati trekking yang panjang itu. Meskipun saya bisa menikmati, namun saya tetap menyarankan, kalau mau ke Sempu pilihlah saat yang lebih baik, jangan sehabis hujan selama berhari-hari. Medannya terlalu sulit, terlalu memakan waktu, dan akhirnya berakibat pada jadwal tour kami yang berantakan.



Jadi ceritanya begini. Suatu hari di tahun lalu, saya diajak seorang teman ke Bromo. Saya langsung mau dong, karena saya belum pernah ke sana. Kebetulan, teman yang mengajak ini adalah teman yang sekitar 9 tahun yang lalu pernah trip overland Jawa-Bali-Lombok bersama saya. Di situ ada jadwal ke Bromo, dan karena terjadi kemacetan yang luar biasa di penyebrangan Ketapang-Gilimanuk (pada saat libur Natal), Bromo terpaksa di-skip, karena tidak cukup waktu. Wajar bahwa ketika dia diajak teman yang lain ke Bromo, teman ini langsung ingat saya. Dan saya pun langsung menerima ajakan itu.

Tiket pesawat pun dipesan. Suatu tanggal dicari, dipas-pasin dengan harga promo Air Asia. Ini memang cara baru travelling, tanggal kadang harus mengikuti harga. Dipilihlah sebuah hari Jumat, sehingga kita bisa pergi selama 3 hari (Jumat, Sabtu, Minggu) dan hanya perlu cuti 1 hari dari pekerjaan. Harga tiket pesawat Jakarta-Surabaya PP cuma Rp 228,000. Langsung saya transfer ke teman hari itu juga.

Setelah itu, kita sama-sama lupa, bahwa kita sudah punya tiket ke Surabaya. Hingga menjelang hari H, barulah kita sadar, bahwa kita belum mempersiapkan apa-apa untuk rencana ke Bromo. Siapa yang harus dihubungi, sampai di sana naik apa, dll. Seorang teman akhirnya menawarkan solusi cepat, pakai tour yang pernah digunakan oleh temannya.

Tour itu menawarkan paket Sempu-Bromo Rp 1,5 juta per orang. Sudah termasuk transport dari bandara Juanda (Surabaya) ke tempat-tempat tujuan dan akomodasi dua malam. Harga yang mahal menurut saya, karena sejak terbiasa backpacking beberapa tahun terakhir ini, dengan uang segitu saya sudah bisa bermewah-mewah di Thailand, Vietnam, atau Malaysia selama 3 hari. Tapi tak apa, karena tidak ada yang sempat mencari alternatif lain, ya sudah lah tidak apa-apa. Bagi saya itu suatu harga yang harus saya bayar untuk kenyamanan sudah diurusin semuanya oleh orang lain alias "tahu beres." Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah pake tour, itung-itung coba-coba pake tour ahh sekali-sekali... jadi saya tidak cerewet. Namun saya berharap fasilitas yang cukup baik untuk harga yang saya bayar.

Maka berangkatlah kami. Hari Jumat pagi kami dijemput di bandara Juanda dengan APV dan langsung berangkat menuju kota Malang. Perjalanan dari Surabaya ke Malang kira-kira perlu waktu 3 jam, agak macet di Sidoarjo/Porong bekas lumpur Lapindo. Dalam perjalanan kami singgah ke Kebon Teh Wonosari dan sebuah air terjun Coban Rondo.

Sekitar pukul 17.00 tiba di kota Malang, sempat menikmati sightseeing di kota yang sejuk itu, antara lain melewati Ijen Boulevard (yang kayak daerah Menteng Jakarta Pusat) dengan rumah-rumah peninggalan zaman Belanda serta katedral yang mirip Notre Dame Saigon. Pukul 18.00 kami tiba di sebuah cafe bernama Oen. Kira-kira pukul 20.00 kami tiba di Cakra Residence, hotel yang katanya paling besar di kota Turen, dekat Malang. Kami menginap di sana karena dari sana lebih dekat untuk memulai perjalanan ke pulau Sempu.

Hari kedua (Sabtu) kami berangkat pukul 8. Sesuai dengan jadwal kami seharusnya menuju Sendang Biru, nama pantai tempat dermaga kapal penyeberangan ke Pulau Sempu. Namun ternyata kami dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Dari sana bisa juga menyewa kapal nelayan untuk menyeberang ke pulau Sempu. Kami tiba di TPI sekitar pukul 10.00.

Penyeberangan ke Pulau Sempu ternyata hanya perlu 10 menit. Tapi nunggu perahunya... sekitar setengah jam lebih. Panas pula... Hihihi, ya sudahlah, namanya juga lagi liburan. Kamera pun dikalungkan biar lebih cepat untuk membidik, sambil tak lupa payungan di bawah sinar matahari yang terik.

Sesampai di pulau Sempu, kami berjalan masuk ke dalam hutan, yang jaraknya hanya beberapa meter dari bibir pantai. Kami disuruh melepaskan alas kaki, lebih mudah berjalan tanpa alas kaki, kata tour guide-nya. Hah? Aku kaget, baru kali ini trekking tanpa alas kaki.

Ternyata memang medannya sangat sangat tidak friendly. Licin, becek, sepanjang jalan harus menginjak lumpur dan kubangan. Itu adalah jalan yang lebih aman daripada yang bukan kubangan. Awal-awal langkah masih lambat karena takut jatuh atau pakaian kotor. Yang paling aku concern adalah kamera DSLR yang aku kalungkan di leher. Lalu aku pun memasukkan kamera ke dalam tas untuk mempermudah dan mempercepat langkahku.

Setelah jatuh dalam kubangan, pakaian sudah kotor gak jelas, barulah trekking bisa lebih cepat (karena tidak takut jatuh dan tidak takut kotor lagi). Total jarak tempuh sekitar 2 km, untuk mencapai pantai "The Beach" itu. Dalam kondisi biasa (baca: kering) bisa ditempuh dalam waktu 2 jam (one way). PP 4 jam.

Nah, dengan kondisi yang menyedihkan seperti waktu kami ke sana, dua kali lipat deh waktunya. Kami mulai jalan sekitar jam 11. Empat jam kemudian (sekitar pukul 15.00)... kami belum sampai juga. Padahal kami membawa dua nelayan bersama kami, tugasnya mengantar kami (selain bersama seorang tour guide) dan membawakan makan siang kami. Rencananya sudah begitu manis, seharusnya pada jam makan siang kami sudah berhasil mencapai pantai dan bisa makan di sana dengan manis. Tapi ternyata... (seharusnya medan yang sulit ini sudah diketahui penyelenggara tour kami, tapi tidak ada yang memberitahukan kepada kami bahwa kami harus trekking di lumpur).

Aku kebetulan yang paling depan. Meskipun aku gak kuat-kuat amat, ternyata lumayan juga ketika dibawa ke hutan. Dan mungkin akulah yang paling beruntung. Setelah jalan empat jam, teman-teman yang lain sudah pada tidak sanggup. Ada yang keram, ada yang sudah luka-luka. Ada yang jatuh sampai 7 kali. Singkat kata, tidak bisa meneruskan perjalanan lagi.

Aku sudah terpisah jauh dari mereka. Aku menunggu. Rasa penasaran membuat aku terus maju, tapi kemudian karena sudah jauh dan aku hanya sendiri bersama si nelayan yang membawa makanan, akhirnya aku berhenti. Nelayan itu membujuk aku untuk berbalik. Karena, sudah jam 3, mereka seharusnya kembali bekerja jam 2. (mereka ternyata bukan tour guide ataupun memiliki hubungan apa-apa dengan wisata. Pekerjaan mereka adalah nelayan, dan ini hanya dibayar beberapa jam untuk mengantar kami). Sementara, melihat dari waktu tempuh, untuk kembali lagi, kami akan butuh empat-lima jam lagi, sehingga khawatir kita akan harus melewati hutan ini dalam keadaan gelap. Demi alasan keamanan, sebaiknya kami berbalik.

Setelah pikir-pikir, akhirnya aku pun berbalik. Padahal, tinggal sekitar 100 m lagi (menurut rombongan yang otw pulang, papasan di jalan). Aku sendiri sudah kelelahan dan tidak tahan dengan nelayan yang mengoceh terus. Lagipula, aku mulai khawatir dengan teman-teman, sebaiknya aku kembali pada mereka. Sedikit pemandangan pantai sudah terintip, sisanya liat di Google aja deh, pikirku.

Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan teman-temanku. Yang sudah pada kelelahan dan luka-luka. Kami membicarakan tentang perahu atau apapun cara lain agar kami tidak perlu berjalan lagi menempuh jalan yang sama. Tour guide kami mencoba mencarikan bantuan. Namun karena ombak yang terlalu besar, tidak ada kapal yang bisa masuk. Jalan satu-satunya adalah kembali berjalan melalui jalan yang sama.

Di situlah suasana mulai kacau. Kami berargumen dengan tour guide kami. Dalam perjalanan kami sempat bertemu dengan beberapa rombongan lain dan juga polisi hutan. Barulah kami tahu, bahwa kami adalah rombongan yang tidak resmi. Jalur masuk yang resmi ke Pulau Sempu adalah lewat Sendang Biru, di sana ada pos penjaga, yang mendata berapa orang yang masuk ke Pulau Sempu, untuk memastikan jumlah yang keluar juga sama. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan pengunjung Sempu. Di sana, sebelum berangkat pengunjung sudah di-brief mengenai kondisi medan, yang kebetulan pada saat saya pergi, memang cukup berat. Perlu waktu 4 jam (one way) bukan 1,5 jam seperti kata tour guide kami. Ternyata dia sendiri tidak aware tentang kondisi medan yang akan dihadapi, sehingga perhitungan waktu kacau semua.

Bukan hanya kami yang kepayahan. Semua rombongan lain yang kami temui juga mengalami hal yang sama. Bedanya, mereka sudah tahu, dan karena itu sudah siap mental. Banyak yang patah arang, balik arah karena terlalu berat. Kami terus karena selalu dikatakan "tinggal dikit lagi" atau "30 menit lagi" padahal ternyata sebenarnya tidak ada yang tahu di mana ujung jalan setapak di hutan ini. Salah seorang nelayan memberi harapan bahwa ada kemungkinan untuk dijemput dengan kapal setelah sampai ke pantai di ujung. Hal itu juga yang membuat kami bersikeras untuk sampai ke tujuan.

Tapi, setelah harapan itu sirna, dan juga setelah menyadari hari semakin sore, dengan mempertimbangkan waktu untuk kembali lagi, akhirnya kami pun putar arah.

Tidak semudah itu putar arah. Salah satu teman harus digendong sepanjang jalan oleh salah satu nelayan, karena tidak bisa jalan lagi. Nelayan yang bernama Toto ini memang luar biasa, semua terkagum-kagum dengan kecepatan dan kekuatannya. Dia bisa berjalan cepat di jalan yang licin tanpa jatuh. Yang digendong yang malah ketakutan dan kelelahan.

Singkat cerita, temanku yang digendong tiba duluan di ujung pantai. Aku tadinya berjalan bersama dia, namun tertinggal karena lambat. Sementara dua orang temanku yang lain tertinggal lebih jauh lagi bersama tour guide dan nelayan yang satu lagi. Makanan akhirnya kita tinggal, tidak ada yang punya napsu makan. Sementara karena perjalanan yang berat, kantong plastik berisi makanan itu pun sudah penuh dengan lumpur. Kami kehausan dan kehabisan air. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir, disertai doa sepanjang jalan, aku berjalan sendirian di hutan itu. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Rasa lelah membuatku ingin beristirahat, tetapi setiap kali berhenti, nyamuk-nyamuk mengerubungi saya dengan ganasnya. Ini nyamuk hutan yang sangat lapar. Aku tidak ada persiapan apa-apa sebelum masuk hutan seperti minum pil kina, takut juga kalau kena malaria, benar-benar tidak worth it secara aku punya rencana trip yang lain. Jadi aku pun ngibrit daripada digigit nyamuk.

Kalau dipikir-pikir, nyamuklah yang membuat saya terus berjalan. Selain ingin segera tiba sebelum gelap (aku tidak bawa senter). Jalan itu terasa bagaikan tidak ada habis-habisnya. Bahkan meski aku sudah pernah lewat jalan ini, tetap saja saya lupa, masih jauh gak ya... No clue. Sesekali terdengar suara orang mulai mengobrol, aku pun merasa sangat senang. Namun ternyata itu bukan berarti saya sudah dekat. Ternyata itu adalah suara rombongan lain yang berlawanan arah yang kemudian berpapasan. Kami selalu saling menegur, dari mana? Masih jauh tidak? dan saling memberi semangat.

Aku berjalan dan terus berjalan. Berjalan? Tidak selalu. Banyak yang aku harus merangkak, berjongkok, bahkan ngesot. Karena banyak tempat-tempat yang terjal dan licin. Aku selalu bergantung pada ranting-ranting pohon di kanan kiri yang bisa dipegang. Seberkas sinar menyusup dari dedaunan di atas. Aku merasa sangat dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Ranting-ranting dan pertolongan selalu datang ketika aku membutuhkannya. Aku berjalan dalam senyap. Hanya ada suara napasku sendiri, pikiranku pun tenang. Aku tidak memikirkan apa-apa, hanya berdoa semoga cepat sampai tujuan. Aku merasa lelah dan lapar dan haus yang luar biasa. Sepertinya otak saya pada saat itu hanya berisi bayangan Coca Cola dingin dengan es batu. Hari pun semakin sore. Aku tidak makan apa-apa sejak sarapan tadi pagi. Perut mulai keroncongan, benar-benar terdengar bunyinya. Aku mulai merasa takut ketika hari berubah gelap. Sendirian, tanpa senter, untung punya Sony Ericsson yang ada light-nya. Aku akan mengeluarkannya nanti. Saat ini sulit merogoh ke dalam tas, tangan penuh dengan lumpur. Nanti deh kalau benar-benar gelap.

Ketika terdengar suara adzan maghrib, aku merasa luar biasa senang. Berarti aku sudah dekat dengan kehidupan. Dekat dengan desa. Aku berjalan, terus berjalan. Setiap ingin berhenti, nyamuk mengerubungi aku. Karena tidak terbayang kondisinya, kami tidak sedia Autan, yang seharusnya bisa sangat membantu. Tidak berapa lama setelah itu aku berpapasan dengan Toto. Rasanya senang sekali. Toto masuk kembali untuk menjemput kedua teman saya yang tertinggal jauh. Teman yang pertama sudah di pantai. Aku pun bergegas.

Sekitar pukul 18.00 aku tiba. Ternyata aku telah berjalan 8 jam nonstop, hanya sedikit minum, tanpa makan dan tanpa pipis. Luar biasa... Aku sendiri terkagum-kagum. Seingat saya, tidak pernah trekking, nyeker pula, dalam medan seberat itu, 8 jam non stop. Hebat sekali. Semua itu gara-gara aku takut digigit nyamuk.

Sampai di pantai, sudah ada teman-teman dari rombongan lain yang menunggu teman serombongan mereka yang tak kunjung keluar. Aku menyalakan senter Sony Ericsson-ku. Selalu kusyukuri punya handphone jadulku ini, dalam kondisi darurat kita jarang-jarang membawa senter. Beberapa orang mencoba membuat api unggun, tetapi gagal terus karena kayunya basah. Akhirnya, gigitan nyamuk pun tidak terhindarkan lagi.

Kami berdua (aku dan temanku yang digendong) menunggu hingga dua jam. Kira-kira jam 20.00 kedua temanku yang lain baru keluar. Mereka adalah orang terakhir yang keluar Sempu pada hari itu. Sampai beberapa nelayan masuk me-rescue mereka. Yang satu harus digendong, yang satu diseret karena terlalu besar untuk digendong. Tidak lama sebelum mereka keluar, sudah keluar semua orang lain yang tergolong pengunjung resmi. Mereka di-rescue polisi hutan dengan membawa beberapa orang yang mempunyai senter. Polisi hutan tidak mau bertanggung jawab atas teman kami, katanya, nelayan yang kalian sewa perahunya itu harus bertanggung jawab. Kami cemas luar biasa akan kedua teman kami itu.

Akhirnya, kami pun menyeberang kembali. Tiba di TPI, hal pertama yang aku lakukan adalah membeli minuman. Satu kaleng Pocari Sweat dan satu botol Coca Cola dengan es batu habis dalam sekejap. Belum pernah aku minum dengan kecepatan setinggi itu. Baru setelah itu membersihkan diri dan berganti pakaian agar mobil tidak kotor. Sempat pula makan pop mie untuk menghibur perut yang keroncongan.

Malam itu, sesuai rencana kami langsung drive ke Batu, Malang. Rencana awalnya akan melihat sunrise di Bromo. Rencana berangkat dari hotel jam 01.00. Dari TPI kami jalan sekitar pukul 22.00 karena tour guide kami yang akan menyetir juga kelelahan. Tiba di penginapan kami di Batu sudah lewat jam 00. Kami semua kelelahan dan luka-luka. OK, kita tidak perlu melihat sunrise. Sekarang tidur dulu dan besok ke Bromo.

Penginapan kami di Batu bernama Dedaunan Cottage, tempat yang sangat menyenangkan, ada pondok-pondok di tengah kebun sayur-sayuran. Kami langsung jatuh cinta pada kamar-kamar kami. Kamarnya nyaman dan tampak hangat seperti menginap di rumah nenek di desa. Kami tertidur pulas.

Keesokan harinya, kami bangun agak siang, sekitar jam delapan. Rencananya akan dijemput oleh tour guide sekitar jam 10.30, jam yang disepakati bersama adalah waktu yang sudah cukup untuk sama-sama beristirahat setelah mengalami hari yang berat kemarin.

Tapi... ketika kita semua siap dan datang ke mobil (pukul 11.00) tiba-tiba saja si tour guide mengabari kami bahwa tidak akan cukup waktu untuk ke Bromo. Karena tiket pesawat kita pukul 19.40 dari Surabaya, tidak akan sempat ke Bromo. Aku diam saja karena mengira temanku sudah tahu akan hal itu dan sudah siap, abis dari pagi dia nyantai2 aja, masih berbalut perban pula kakinya.

Ya sudah, dengan sedih aku merelakan sekali lagi trip ke Bromo lepas. Kalaupun pergi, kami semua terlalu lelah. Jalan pun sudah terpincang-pincang seperti ibu hamil besar. Ya sudahlah, akhirnya kami berangkat ke Surabaya dan city tour di Surabaya, mengunjungi House of Sampoerna dan jembatan Suramadu. Sedih sedih sedih... tapi mau diapain lagi. Hu hu hu, Bromo, entah kapan bisa ke sana.

Itulah sebabnya aku sedih setiap ditanya "Gimana Bromo?" oleh teman-teman yang telah mengetahui rencana perjalananku ini. Dan aku hanya menjawab, aduh jangan tanya deh. Ya, beginilah ceritanya. Thanks for reading.

Comments

  1. OMG speachlesssabis, itu bener-bener lagi apess kalo beginianmahhh

    ReplyDelete
  2. Ternyata hu, beberapa saat setelah gw ke sana, Sempu memang ditutup. Bahkan sampai sekarang, yang mau masuk diperingatkan dulu mengenai jalan yang licin dan kubangannya yang dalam. Emang medannya gak gampang lho...

    ReplyDelete
  3. Setuju banget !

    ReplyDelete
  4. hi... thankyou buat pengalamannya ke sempu... sempet ngotot banget mau ngetrip ke pulau sempu.. tapi setalah tau cerita km soal pulau sempu, ga jadi deh. Ngeri ngeri ngeri :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts